Jurang Kesenjangan antara Pejabat dengan Warga Itu Nyata Adanya – Analisis

[ad_1]

Pada April lalu, terjadi kehebohan sejumlah pengusaha lokal yang dizalimi oleh lembaga BUMN terkait keterlambatan pembayaran jasa. Sebelum akhirnya viral di dunia maya, pengusaha-pengusaha lokal ini enggan bersuara. “Takut tidak mendapat pekerjaan lagi,” alasannya.

“Takutnya” para rakyat kecil bersuara ternyata bukan tanpa alasan. Hasil survei yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia di tahun 2020 lalu menarik perhatian. Ditemukan fakta bahwa sekitar 47.7% responden makin takut menyampaikan uneg-unegnya dan sebanyak 57,7% lainnya sepakat bahwa alasan masyarakat takut berpendapat karena takut pula ditangkap oleh aparat yang semena-mena, terlebih jika pendapat atau kritik dilontarkan untuk pemerintah.

Tidak hanya survei Indikator Politik Indonesia, penelitian juga pernah dilakukan oleh Litbang Kompas bersama Komnas HAM untuk mengetahui bagaimana masyarakat memandang kebebasan berekspresi dan berpendapat. Hasilnya, 26% dari 1.200 orang justru takut untuk menyatakan kritik kepada pemerintah.

Terlebih di era Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin, tepatnya pada peringatan 1 tahun sejak menjabat, Litbang Kompas juga mengungkapkan melalui jajak pendapat yang dilakukannya bahwa sebanyak 33,5% persen warga menyatakan pembatasan kebebasan berekspresi dan berpendapat masih dibatasi dan merupakan permasalahan di bidang politik yang harus segera diatasi.

Bayang-bayang akan diawasi oleh tukang bakso “ber walkie- bicara” lalu dijemput oleh mobil hitam mengantui warga ketika mereka akan menyampaikan pendapat tentang aparat dan para elite Pemerintah Indonesia.

Mengapa bisa timbul ketakutan seperti itu? Karena para rakyat kecil sudah melihat sendiri betapa bedanya perlakuan hukum ke rakyat biasa dan pejabat, bahkan yang jelas-jelas berkorupsi. Mereka tahu, tidak akan pernah menang.

Contoh kasus pencurian sandal jepit kepunyaan anggota Brimob Polda Sulteng yang membuat seorang pelajar SMK di Sulawesi Tengah terancam hukuman kurungan maksimal lima tahun penjara.

Ancaman hukuman untuk seorang pencuri sendal jepit ini malah lebih banyak ketimbang hukuman untuk koruptor yang berdasarkan, data Pantau Korupsi Indonesia (ICW) yaitu di bawah dua tahun.

Keadaan seperti ini salah. Seharusnya semua orang sama derajatnya di mata hukum. Tidak ada kisahnya pejabat harus lebih dihormati rakyat kecil.

Indonesia sudah jelas-jelas menjunjung kebebasan berpendapat yang termuat dalam UUD 1945 Pasal 28 E dan F dan dalam Undang-Undang nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dalam pasal 14, 23, 24, dan 25.

Jika pejabat di negara inti anti-kritik dan merasa paling berkuasa, maka hakikatnya Tanah Air tidak akan maju kemana-mana. Aspirasi-aspirasi hingga keluhan dari masyarakat perlu didengar jika terus menggaungkan bahwa segala yang dilakukan pejabat untuk kesejahteraan rakyat.

Termasuk ke rakyat yang ingin memulai usaha, belum apa-apa mereka sudah dipersulit dalam mengakses pelayanan publik untuk segala kegiatan berbisnis termasuk pengurusan izin usaha.

Ombudsman RI pernah mengungkapkan alasan banyak pengusaha yang tidak melaporkan hal ini karena jika melapor malah menambah permasalahan lainnya.

Padahal pengusaha tidak seharusnya dipersulit seperti ini dan merasa takut untuk melaporkan. Hak-hak atas pelaku usaha yang sebagaimana telah diatur di UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yaitu hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum dan mendapatkan perindungan hukum.

Tetapi yang terjadi di lapangan tidak seindah yang tertera di undang-undang. Bagi sejumlah pengusaha yang tidak ikut menyerah mengurus segala perizinan demi kegiatan berbisnisnya agar lancar, ada pula yang mengambil jalan pintas dengan merogoh sejumlah kocek untuk menyuap petinggi negara.

Bukankah ketidakbecusan pejabat publik seperti ini menghambat lajunya perekonomian Indonesia? Ditambah pengusaha dan insan perekonomian kecil lainnya juga tidak bisa berpendapat mengeluhkan pelayanan publik atau apapun di media sosial karena takut tercyduk.

Mungkin sesungguhnya alasan Indonesia pernah berada di jurang resesi dengan perekonomiannya berada di minus 0,74% pada kuartal I 2021, karena tidak leluasanya gerak pengusaha-pengusaha di tengah-tengah segala kesulitan birokrasi pemerintah.



[ad_2]

Sumber Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »