Polemik Mustafa Kemal Ataturk, antara Baik dan Buruk – Pilihan Editor

Belakangan ini, khususnya di DKI Jakarta, tengah terjadi polemik terkait usulan penamaan jalan yang terletak di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.

Hal itu muncul setelah Pemerintah Turki menganugerahkan nama jalan di depan kantor Kedutaan Besar RI Ankara yang baru dengan nama Jalan Ahmet Soekarno.

Sehingga atas nama asas resiprokal (saling berbalas), pemerintah Indonesia pun berniat untuk menyematkan nama Mustafa Kemal Ataturk, tokoh nasionalis, dan dianggap kontroversial oleh sebagian masyarakat tersebut.

Memang di mata politikus Fadli Zon, Hidayat Nur Wahid, Haji Lulung, atau Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas, menilai Mustafa merupakan sosok yang mengacak-acak ajaran Islam.

Sebagaimana dikutip dari Tempo.co, lebih jauh Anwar Abbas mengatakan bahwa, Kemal Ataturk merupakan tokoh sekuler yang tak percaya agamanya dapat membawa Turki menjadi negara maju.

Anwar menyebut dalam upaya meraih itu, Mustafa justru menjauhkan rakyat Turki dari ajaran agama Islam.

Sementara menurut Fachri Hamzah, maupun Wakil Katib Suriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta, Taufik Damas, justru berpendapat lain.

Bahkan nama yang disebut belakangan, terkesan menantang publik untuk mencari tahu latar belakang kelompok masyarakat yang menolak nama Mustafa Kemal Ataturk untuk disematkan menjadi sebuah nama jalan di kawasan Menteng, Jakarta tersebut.

Dalam acara Apa Kabar Indonesia yang ditayangkan kanal YouTube tvOneNews (18 Oktober 2021), Taufik Dammas menegaskan, “Kalau ditanya (usulan nama jalan Mustafa Kemal Ataturk) menyakiti hati umat Islam, itu saya hanya bertanya, itu umat Islam yang mana? Karena umat Islam yang punya pengalaman langsung dengan Mustafa Kemal Ataturk ya umat Islam Turki.”

Secara kasat mata, sesungguhnya polemik yang muncul terkait masalah tersebut muaranya tetap saja pada kepentingan politik masing-masing yang angkat bicara.

Kubu pertama, yang menentang usulan tersebut, publik pun tanpa harus membuka arsip lagi mengetahui sepak-terjangnya di kancah politik maupun pandangan agama Islam yang diyakini mereka.

Demikian juga halnya dengan Taufik Dammas, dan Fachri Hamzah – terlepas dari perubahan drastis yang bersangkutan belakangan ini, yang memberikan sinyal dukungan untuk memberikan nama tokoh nasionalis Turki tersebut pada sebuah jalan di kawasan Menteng Jakarta Pusat itu.

Akan tetapi terlepas dari pro dan kontra ihwal penamaan jalan di kawasan Menteng Jakarta Pusat dengan nama Mustafa Kemal Ataturk, sudah saatnya bangsa Indonesia ini menyikapinya lebih dewasa lagi.

Paling tidak rasionalitas pemikiran yang berdasarkan pengembangan wawasan dan pengetahuan, baik dari aspek sain, maupun agama perlu untuk ditingkatkan lagi.

Sebagaimana halnya dengan sosok Mustafa Kemal Ataturk yang menjadi polemik sekarang ini, bisa jadi kita dituntut untuk mengetahui sudah sejauh mana tentang tokoh bangsa Turki tersebut.

Kita seyogyanya melakukan pemetaan pemikiran secara objektif, tidak hanya dari satu sudut belaka – dengan menggunakan kacamata kuda, misalnya.

Dengan kata lain, meminjam kosakata agama Islam, pertimbangan manfaat dan mudharatnya itu perlu dikaji dari berbagai sumber keilmuan.

Sebagaimana yang sering terdengar, jika Islam itu rahmatan lil amin, tentunya tidak hanya diucapkan dengan meludah di podium saja.

Sehingga jangan ngaku demokratis, apa lagi Pancasilais, jika masih sikut-sikutan, dan di baliknya ternyata hanya sebatas demi kepentingan pribadi dan kelompoknya saja, Bro! ***

Sumber Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate ยป