Oligarki Adaptif di Tengah Transisi Demokrasi – Analisis

[ad_1]

Sepuluh tahun yang lalu, Oligarki—buku karya akademikus AS Jeffrey A. Winters—terbit dalam Bahasa Indonesia. Buku itu terbit 13 tahun setelah Presiden Soeharto mundur dari jabatannya, 21 Mei 1998. Alih-alih memuji perkembangan demokrasi di Indonesia setelah rezim Orde Baru berlalu, Winters justru mengingatkan ancaman yang segera merenggut demokrasi dari tangan rakyat yang telah bersusah payah mengikhtiarkannya.

Ancaman itu, menurut Winters, adalah kekuatan oligarki yang mengalami perubahan wajah: dari oligarki sultanistik di masa Orde Baru menuju oligarki kolektif. Dalam oligarki sultanistik, sarana pemaksaan dimonopoli oleh oligark utama—dalam hal ini Soeharto, bukan oleh negara terlembaga yang dibatasi hukum. Relasi Soeharto dengan oligark lainnya bagai patron-klien. Soehartolah yang mengatur kekuasaan dan hukum di antara mereka, hingga kemudian pada Mei 1998 para oligark meninggalkan Soeharto sendirian.

Euforia reformasi tak terbendung, rakyat terbuai dengan peralihan kekuasaan. Saat itulah oligarki memanfaatkan situasi dan berkonsolidasi. Dalam pandangan Winters, masyarakat sipil terlalu lemah untuk menangkap peluang kembalinya demokrasi, sementara oligarki bergerak lebih cepat untuk memanfaatkan demokrasi dan kemudian mendominasinya.

Pemilihan legislatif dan kepala daerah secara langsung dilihat oleh rakyat sebagai kembalinya demokrasi ke tangan mereka. Namun, para oligark justru melihatnya sebagai peluang untuk ikut campur dalam memengaruhi siapa yang akan terpilih. Di dalam menentukan siapa yang menang dalam apa yang disebut ‘pesta demokrasi’ itu, menurut Winters, ada kerjasama dan persaingan di antara oligark.

Kajian Winters melengkapi studi mendalam Richard Robison dan Verdi Hadiz (Penataan Tenaga di Indonesia, 2004). Robison dan Hadiz memaknai oligarki sebagai sistem pemerintahan dengan seluruh kekuasaan politik berada di tangan sekelompok kecil orang kaya yang memastikan bahwa kebijakan publik berpihak pada keuntungan finansial mereka. Caranya, melalui kebijakan subsidi langsung terhadap perusahaan mereka, kontrak karya pemerintah, maupun proteksi bisnis.

Apa yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa demokrasi tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan rakyat banyak ketika semangat reformasi diembuskan 23 tahun yang silam. Demokrasi yang sehat dan adil belum terwujud, jika bukan terasa semakin jauh dari cita-cita reformasi. Kekuatan warga pro-demokrasi memang terlihat tidak cukup mampu mengimbangi kekuatan oligarki yang memasuki berbagai sendi kehidupan masyarakat.

Kejatuhan Soeharto justru membuka jalan bagi oligarki bisnis-politik untuk mengonsolidasikan kekuasaannya dengan cara yang baru mengingat tidak ada lagi kekuasaan terpusat yang mengendalikan mereka. Institusi-institusi baru, yang dilahirkan dan dianggap sebagai produk reformasi, menjadi incaran para oligark. Para oligark pasca 1998 menempuh cara apapun untuk mempertahankan dan meningkatkan kemakmuran, pendapatan, dan posisi eksklusif mereka di tengah masyarakat. Ini yang semakin mempersulit kekuatan warga pro-demokrasi untuk mengonsolidasikan diri dan memperjuangkan demokrasi yang sehat dan adil. >>



[ad_2]

Sumber Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »