King Maker dan Obsesi Jadi Raja – Pilihan Editor

[ad_1]

Seorang lelaki di Pandeglang menyatakan diri sebagai Raja Angling Dharma. Angling Dharma adalah tokoh dalam legenda Jawa yang dikisahkan sebagai titisan Batara Wisnu. Dibilang aneh, tapi begitulah realitasnya–cukup banyak pula pengikutnya. Dan ini bukan kali pertama orang menyatakan diri sebagai raja di masa milenium kedua. Sebelum Angling Dharma ada Ratu Agung Ratnaningrum yang menyatakan diri sebagai Maharani Sunda Empire atau Kekaisaran Matahari.

Walaupun terasa menggelikan, menjadi Raja dan Ratu barangkali memang masih jadi obsebsi sebagian manusia di masa medsos ini. Namun, tak semua orang mengatakan obsesinya itu secara terbuka. Orang-orang yang menyebut diri Raja Angling Dharma dan Ratu Agung Ratnaningrum itu walaupun obsesif, namun jujur. Keduanya mengekspresikan  obsesi mereka apa adanya: membuat singgasana, mengenakan busana kebesaran, hingga membentuk pasukan pengawal.

Walaupun begitu, setidaknya mereka lebih jujur dibandingkan banyak orang yang tidak menyebut diri sebagai raja atau ratu, tapi tindak tanduknya tak berbeda dengan raja dan ratu: minta diistimewakan, diperlakukan dengan nyaman, kehendaknya harus dipenuhi, kemauannya tak boleh ditolak. Dengan mengatasnamakan demokrasi, setelah berkuasa orang-orang ini berlaku tak ubahnya raja-raja. Ada raja kecil yang memimpin kota dan kabupaten, ada pula yang memimpin wilayah lebih besar.

Seperti halnya pemerintahan di masa lalu, apa yang disebut dengan dinasti atau dinasti juga diupayakan ditegakkan dengan mendorong kerabatnya untuk maju ke arena pemilihan. Jika seseorang terpilih menjadi bupati/walikota, misalnya, maka berbagai upaya dilakukan agar setelah dua periode kekuasaan tidak berpindah kepada orang lain, kecuali kerabat. Jika suami menjadi bupati, maka istri harus menjadi bupati, atau anak menjadi bupati; jika istri menjadi bupati, maka suami menjadi wakil bupati.

Apakah membingungkan jika pola seperti itu mirip dengan dinasti atau dinasti di zaman kerajaan? Misalnya, keturunan Tunggul Ametung menjadi raja secara bergiliran di Tumapel. Mempertahankan posisi agar dipegang oleh kerabat dekat adalah cara yang digunakan raja; Hanya saja, saat ini upaya tersebut dilakukan atas nama demokrasi dan dengan memanfaatkan demokrasi.

Apatah arti demokrasi bila segala cara dilakukan agar kerabat yang menang dalam pemilihan yang seolah-olah demokratis? Pencalonan ada, calon kompetitor ada, kampanye ada, serta pemilihan pun ada; namun jika semua itu hanyalah proses yang dibuat sedemikian rupa sehingga pemenang yang keluar dari pemilihan itu telah pasti, kelirukah bila itu disebut demokrasi manipulatif atau demokrasi seolah-olah? Orang-orang itu berobsesi membangun dinasti dan menjadi raja, tapi mereka tak melakukannya seperti Raja Angling Dharma di Pandeglang maupun Ratu Agung Ratnaningrum di Bandung—yang walaupun menggelikan, tapi mereka jujur dan berterus terang.

Di balik orang-orang yang terobsesi oleh kedinastian dengan mengandalkan demokrasi sesungguhnya ada orang-orang yang memainkan peran lebih penting. Mereka disebut raja pembuat, sebab tergantung merekalah seseorang bisa menjadi raja atau tidak—raja di mata manusia. Merekalah yang bertindak bagai penentu nasib apakah seseorang jadi bupati/walikota atau tidak, boleh mencalonkan diri jadi presiden atau tidak, juga boleh jadi ketua umum partai atau tidak.

pembuat raja sering disebut-sebut, tapi ia atau mereka tidak kasat mata, tidak terlihat di depan publik atau publik tidak melihatnya sekalipun ia atau mereka hadir. Mereka tidak kasat mata, tapi pengaruhnya sangat terasa. Mereka itu tidak tersentuh—yang tak tersentuh, kerennya. Mereka itu, meminjam dongeng Harry Potter, adalah yang tidak bisa disebutkan namanya lantaran demikian menakutkan kekuatan dan kekuasaannya, sehingga menyebut namanya pun bisa berakibat buruk.

Siapakah pembuat raja, orang-orang yang bermain demokrasi, yang mungkin menertawakan orang-orang yang bertengkar tentang siapa yang harus dipilih; padahal itu semua tergantung kemauan pembuat raja—Pencipta raja. Membagikan pembuat raja, raja-raja itu hanyalah bidak yang dengan mudah dapat mereka geser atau sanggup membuatnya tersudut oleh langkah kocok makanan jika Anda tidak ingin menuruti keinginan mereka. >>



[ad_2]

Sumber Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »