[ad_1]
Kampus merdeka, akankah jadi jargon yang berlalu tertiup angin oleh karena hanya sekedar kosmetik? Menilik diksinya, mestinya kampus merdeka itu membebaskan pikiran manusia-manusia di dalamnya untuk menemukan kebenaran secara adil. Kebenaran objektif yang se-objektif-objektif-nya niscaya sukar disepakati, tapi jika mahasiswa dan akademisi dibebaskan untuk mencari kebenaran secara adil, maka yang mendekati objektif itu berpeluang besar untuk didapat.
Diperlukan kebebasan akademis untuk mencapai hal itu, bukan digiring harus melakukan ini dan itu menurut kehendak yang sedang berwenang. Walaupun tidak semenjulang gagasan Paulo Freire, dengan kredonya pendidikan yang membebaskan, setidaknya jika ingin memasang label kampus merdeka semestinya juga menghargai perbedaan pandangan. Bila kemudian kampus tidak ubahnya birokrasi, dengan rektor sebagai penguasa tertinggi yang tidak boleh digugat kebijakannya, di mana letak kemerdekaan berpikir manusia kampus?
Bila akademisi tidak diperbolehkan berbicara merdeka dan jujur, bagaimana mungkin mereka akan menemukan kebenaran? Tanpa kemerdekaan berpikir, meneliti, mengkaji, dan menyampaikan pendapatnya, alih-alih menjadi suar yang menerangi masyarakatnya, bahkan menjadi menara gading yang tak peduli pun juga tidak. Seandainya menara gading itu kemudian berdiri, akan penuh dengan dempul untuk menutupi retak-retaknya.
Tanpa kebebasan akademis, insan kampus, baik mahasiswa maupun dosen-akademisi di dalamnya, hanya akan tumbuh bak katak dalam tempurung. Bentuk-bentuk feodalisme birokratis hanya akan mengungkung insan kampus, membuat pikiran mereka jumud karena membentur tembok-tembok pembatasan.
Kampus merdeka itu bukan sekedar anak eksakta boleh belajar juga ilmu-ilmu sosial. Kalau yang seperti ini, kampus seperti ITB sudah puluhan tahun lalu melakukannya, walaupun dalam koridor minor. Para pejabat publik yang mengemban kewajiban soal kampus mestinya paham bahwa yang diperlukan lebih dari tukar-menukar mahasiswa antar bidang pengetahuan. Tanpa kebebasan berpikir, mahasiswa tidak akan mampu menarik garis hubung di antara bidang-bidang yang tampak berlainan tapi sesungguhnya saling bertautan.
Para akademisi, baik di kampus maupun di lembaga penelitian lain, niscaya paham bahwa isu-isu dan bidang-bidang yang mereka tekuni bukanlah sesuatu yang steril dari saling pengaruh. Studi-studi mutakhir menunjukkan relasi kuat antara yang teknis-teknologis dan yang sosial. Keunggulan hanya bisa diraih bila ada kebebasan akademis.
Insan akademis juga paham bahwa kehadiran politisi di dalam institusi riset dengan jabatan sangat tinggi itu berpeluang untuk memengaruhi kebebasan akademis mereka dalam, misalnya, memilih apa yang ingin mereka kaji, teliti, tekuni, tulis, publikasikan, dan mereka diskusikan. Begitu pula bila para petinggi kampus menjalin hubungan dengan politisi, godaan untuk menggunakan birokrasi kampus sebagai alat kekuasaan akan tak terhindari.
Jadi, penggencaran slogan kampus merdeka tidaklah cukup untuk memerdekakan manusia-manusia perguruan tinggi dari kungkungan birokrasi. Bila pemerintah dan elite politik menghendaki kampus perguruan tinggi benar-benar merdeka, biarlah mereka mengurus diri sendiri dengan menekan campur tangan pemerintah hingga tingkat sekecil mungkin. Termasuk, yang sangat penting, menentukan siapa yang layak jadi rektor: orang yang merdeka atau orang yang tergoda untuk menjadi kepanjangan tangan kepentingan politik partisan. >>
[ad_2]
Sumber Berita