[ad_1]
Keesokan paginya, semua isi percakapan Kyai Pethak dengan tiga pemuda itu – termasuk tentang malapetaka yang akan membumihanguskan Desa Wonopati – mulai tersebar. Pada awalnya hanya dibicarakan oleh sekelompok ibu-ibu rumah tangga yang sedang berkumpul di pasar dan tukang sayur; tapi mulai menyebar hingga ke seluruh desa. Kini berita itu telah menjadi perbincangan umum.
Bagaikan sebuah percikan api kecil di lumbung padi yang segera membakar semuanya; begitu juga dengan berita tersebut yang tersebar cepat dalam waktu kurang dari setengah hari. Keadaan kian parah ketika para warga mengetahui bahwa hanya tersisa kurang dari dua hari sebelum malapetaka terjadi di desa mereka, sehingga menciptakan kepanikan massal. Ditambah setelah mengetahui sumber masalah berasal dari tiga pemuda – Herman, Wahyu, dan Broto – menyebabkan para warga mulai mengkambinghitamkan mereka.
Saat menjelang magrib, para warga berkumpul di alun-alun desa dan melakukan pemungutan suara untuk mengambil sebuah tindakan guna mencegah malapetaka. Semua warga desa mengambil suara bulat untuk mengorbankan tiga pemuda itu. Lantas pada malam harinya, mereka semua berbondong-bondong melaju ke rumah tiga pemuda tersebut sembari membawa obor dan senjata tumpul hingga tajam, guna berjaga-jaga jika terjadi perlawanan. Para tentara yang berjaga di desa itu berusaha membubarkan para warga; tapi mereka kalah jumlah, sekaligus tidak mampu menahan aksi warga yang sudah menggila.
****
Malam yang hening telah berubah menjadi ricuh. Herman yang sedang tertidur pulas di kamarnya, langsung dibangunkan oleh kedua orang tuanya. Mereka menyuruh Herman untuk segera pergi meninggalkan rumah dan bersembunyi, sebab mereka telah mengetahui rencana dari para warga desa yang akan menyerang rumah mereka untuk menghabisi Herman.
Herman yang mengetahui kabar tersebut jadi panik. Lalu dia segera berpakaian dan pergi meninggalkan rumah melalui pintu belakang yang mengarah ke kebun, sekaligus bersembunyi di dalam sana. Secara samar – dari tempat persembunyiannya – dia menyaksikan para warga yang sudah tiba di rumahnya; mendobrak masuk ke dalam; lalu disambut dengan suara gemetar dari kedua orang tuanya. Tidak tahu apa yang terjadi di dalam sana, yang pasti Herman mendengar suara keributan yang diakhiri oleh jeritan kedua orang tuanya. Kemudian para warga mulai mengakhiri aksinya dengan membakar rumah Herman yang terbuat dari kayu. Alhasil, berguncanglah batin Herman saat menyaksikan adegan tersebut. Rasa takut dan marah makin berkecamuk di dalam batinnya.
“Itu Herman!”
Seketika terdengar suara teriakan salah seorang warga yang mengetahui keberadaan Herman di dalam kebun.
“Kejar dia! Jangan sampai lolos!” timpal salah satu warga lainnya.
Arkian, mereka segera melaju ke arah kebun. Herman yang menyadari itu segera berlari kencang ke dalam kerimbunan kebun, sekaligus berharap agar para warga kehilangan jejaknya.
Setibanya di pengujung kebun, dia langsung menaiki jalan kecil – pembatas kebun – dan di sana dia bertemu dengan Broto yang terlihat pucat ketakutan.
“Her… Herman…” ucap Broto dengan panik, “Wah… Wahyu. Di… dia… sudah mati.”
Namun percakapan mereka terputus, saat suara rombongan warga mulai terdengar. Lantas Herman langsung mengajak Broto untuk lari bersamanya ke suatu tempat yang menurut mereka aman.
****
Di satu tempat yang gelap gulita dan jauh dari pemukiman penduduk – hanya dikelilingi oleh pepohonan rindang – terlihat Herman sedang mendengarkan cerita gelisah dari Broto. Dia menceritakan; beberapa waktu yang lalu dia mengalami hal serupa, yaitu didatangi oleh rombongan warga yang mengamuk dan menyerang rumahnya. Mengetahui bahwa dirinya dalam bahaya dan tidak mampu melawan balik, akhirnya dia memutuskan untuk melarikan diri ke dalam kebun rimbun yang berada di belakang rumahnya. Arkian, dia segera mendatangi rumah Wahyu untuk bersembunyi atau mengajaknya lari bersama. Namun setibanya di sana, dia hanya mendapati rumah Wahyu yang telah terbakar dan orang-orang di dalam rumahnya – keluarga Wahyu – telah tewas dengan luka benda tajam. Tetapi dia tidak menemukan mayat Wahyu.
Broto yang melihat kejadian itu, dia sadar bahwa warga sudah terlebih dulu tiba di rumah Wahyu dan mengeksekusi orang-orang di dalamnya. Lantas Broto segera kembali masuk ke dalam kebun, demi menghindari jalanan umum dan menyembunyikan eksistensinya dari para warga. Di dalam sana, dia tanpa sengaja menemukan tubuh Wahyu yang berlumuran darah segar; kedua tangan dan kakinya terpotong; perutnya robek sehingga organ dalamnya berserakan di atas tanah. Mukanya penuh sayatan yang buruk sampai membuat setengah wajahnya terlihat seperti tengkorak. Walhasil, Broto segera lari seperti orang kesetanan tanpa mengetahui arah tujuan, sampai akhirnya dia bertemu dengan Herman.
Kini tinggal mereka berdua yang tersisa. Namun Herman berusaha meyakinkan Broto bahwa mereka akan baik-baik saja. Dia juga berkeyakinan bahwa Kyai Pethak akan membantu mereka dalam menghadapi musibah yang menimpanya. Namun takdir nahas telah mengencundang harapan tersebut.
Tidak jauh dari tempat persembunyian mereka – secara samar dari balik pepohonan – terlihat Kyai Pethak yang sedang berbicara di tengah kerumunan warga yang mengamuk dan ditemani oleh beberapa orang tentara. Dia berusaha menenangkan para warga untuk tidak gegabah dalam mengambil tindakan. Namun kepanikan warga tidak dapat terbendung, sehingga menghilangkan akal sehat sekaligus membuat mereka jadi lancang.
Dengan berani mereka menggertak Kyai Pethak dengan alasan bahwa dia seakan sedang melindungi para pembawa malapetaka. Selain itu, para warga juga sudah jenuh akan serangkaian peristiwa mengerikan yang terjadi di desa mereka. Alhasil, upaya Kyai Pethak menjadi sia-sia. Para warga desa kian mengamuk dan menerobos kepungan tentara yang berjumlah tidak banyak. Meskipun sudah diberi tembakan peringatan, tapi itu tidak merosotkan nyali para warga.
Adegan tersebut membuat harapan Herman dan Broto jadi pupus. Mereka merasa sudah tidak ada yang dapat melindungi mereka. Walhasil, Broto mengusulkan untuk segera meninggalkan Desa Wonopati pada malam itu juga, dan langsung disetujui oleh Herman.
Saat mereka hendak pergi, angin sepoi-sepoi bertiup kencang ke arah mereka berdua – seperti badai – dan kabut mulai menyelimuti mereka, mengganggu pandangan mereka. Herman merasa ada yang janggal, maka dia meminta Broto untuk tetap dekat dengannya. Angin bertiup kencang ke arah mereka dan pada saat yang sama kepala Broto terlepas dari tubuhnya – seperti dipenggal – dan berguling di depan mata Herman. Kemudian diikuti oleh kedua tangan dan kakinya yang terlepas, dengan tubuhnya terbelah dua secara horizontal – memisahkan tubuh bagian atas dan bawah – dan menumpahkan semua organ internalnya di tanah.
Sontak Herman langsung berteriak ketakutan. Seluruh tubuhnya lemas dan tak berdaya dan jatuh di depan bagian tubuh Broto. Dia berteriak tidak jelas, melihat sekelilingnya yang masih diselimuti kabut. Tak lama kemudian, kabut mulai memudar perlahan. Digantikan oleh kerumunan obor yang mulai menerangi jalan di sekitar Herman; yang ternyata adalah senter dari sekelompok warga yang datang mendengar teriakannya.
****
Arkian, Herman diarak oleh para warga desa menuju ke suatu tempat yang tidak diketahui. Kedua tangannya diikat; lehernya juga diikat dan ditarik dari depan; bagaikan seekor binatang. Selama diarak, Herman juga dilempari batu dan dipukuli oleh para warga, sembari melempar makian kepadanya. Herman yang masih syok, hanya bisa pasrah sambil menikmati siksaan tersebut. Kini badannya penuh dengan luka memar dan parut.
Setelah beberapa lama kemudian, Herman mulai merasa akrab dengan jalan yang ditempuh oleh para warga. Sampai akhirnya Herman sadar bahwa para warga sedang membawanya ke tempat bekas rumah Aki Cokro, yang kini hanya menyisakan sebuah lahan kosong dengan lantai tanah liat abu-abu dan sebuah tiang pancang kayu jati. Sontak Herman menjadi histeria.
Setibanya di sana, para warga segera mengingat tubuh Herman di tiang pancang itu dengan posisi menghadap ke hutan.
“Apa yang akan kalian lakukan?” tanya Herman dengan gugup.
“Ini adalah penukaran tumbal! Kami tidak ingin desa kami hancur!” ujar salah seorang warga pria berusia lanjut yang sedang mengikatnya.
“Lebih baik kami tumbalkan satu orang, demi keselamatan satu desa!” ujar warga lainnya dengan nada yang berapi-api.
Lantas, para warga mulai kembali melempar cacian keji dan terus menyalahkan Herman atas ancaman malapetaka yang mengancam Desa Wonopati. Herman hanya bisa menatap mereka dengan penuh keputusasaan, tanpa memberikan respon apa-apa.
Seketika angin berembus kencang dan burung-burung mulai bertebangan menjauhi hutan. Tampaknya para warga mulai sadar akan kehadiran sesuatu yang gaib, sehingga mereka segera membubarkan diri dan meninggalkan Herman yang terikat di tiang pancang.
Hutan yang awalnya tenang, kini terlihat beberapa pohonnya mulai bergerak, seakan ada makhluk raksasa yang sedang berjalan menerobos pepohonan menuju ke tempat Herman berada. Herman yang menyaksikan fenomena itu, hanya bisa meronta-ronta sambil berteriak dan menangis tak keruan. Namun tidak ada yang menolongnya, termasuk Kyai Pethak yang kini keberadaannya tidak diketahui; seakan memaksanya untuk menyaksikan kengerian yang sedang menghampirinya.
“HEERRRMANNN!”
Sontak Herman makin bergidik ngeri setelah mendengar suara tersebut yang menggema di cakrawala malam yang kelam.
Kemudian Herman melihat, sebuah gumpalan kabut hitam yang tampak seperti sosok raksasa, berbentuk sangat aneh dan menakutkan, beserta tentakel-tentakel hitam seperti cacing dan kelabang di sekujur tubuhnya. Kabut hitam itu keluar dari dalam hutan dan tiba tepat di hadapannya. Arkian, Herman melihat wajah Aki Cokro dengan ukuran yang sangat besar; terletak di atas gumpalan kabut; seakan dia adalah si pemilik tubuh. Matanya memancarkan cahaya berwarna kuning kehijauan, menatap Herman dengan penuh murka dan kutuk. Lantas kabut hitam itu segera menyelimuti seluruh tubuh Herman yang sedari tadi menjerit-jerit ngeri, sehingga menghiasi sepanjang malam yang kelam dan terkutuk.
****
Ketika matahari kembali bersinar; terlihat hanya sebuah tiang pancang yang masih berdiri kokoh yang berlumuran darah segar. Kini tubuh Herman sudah hancur menjadi potongan-potongan daging kecil – bagaikan daging cincang – termasuk tulang dan organ dalamnya.
Potongan tubuhnya tidak hanya berserakan di atas tanah sekitar tiang pancang, tapi juga sampai ke dalam hutan dan di atas pepohonan. Sebagian potongan tubuhnya telah dimakan oleh hewan liar penghuni hutan, sehingga para warga hanya bisa mengumpulkan potongan yang dapat mereka temukan untuk dikebumikan.
Selepas peristiwa itu, serangkaian pembunuhan mengerikan telah berakhir. Desa Wonopati kini berhasil selamat dari ancaman malapetaka akibat kutukan Untul Angkarama. Selain itu, mereka juga membersihkan nama baik Aki Cokro bersama cucunya, bernama Santi. Mereka mulai sadar bahwa Aki Cokro dan Santi adalah korban fitnah dari pesaingnya – Mbah Bhadrika – yang ternyata seorang simpatisan pasif Kelompok Merah. Walaupun begitu, kesadaran mereka sudah terlambat dan tidak bisa mengembalikan dua nyawa dari keluarga kecil yang malang itu.
Dari kejadian ini mereka sadar bahwa tidak sedikit orang-orang yang dieksekusi selama era revolusi adalah korban fitnah – demi persaingan bisnis atau tujuan pribadi – atau sekedar kecurigaan buta. Mereka juga sadar, bahwa mungkin beberapa dari para pembasmi atau eksekutor adalah orang-orang dari Kelompok Merah yang berkamuflase, demi mencurangi hukum dan maut. Alhasil, kejadian ini menjadi sebuah pembelajaran yang pahit dan kelam, sekaligus memperlihatkan betapa kejamnya fitnah itu.
“Fitnah, fitnah, fitnah berkali-kali lebih buruk dari pembunuhan, lebih buruk dari pembunuhan, kita semua difitnah, dan saudara-saudara telah terbunuh, kita diperlakukan seperti itu … -Abdul Haris Nasution.
****
[ad_2]
Sumber Berita