[ad_1]
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Indonesia merupakan penghasil emisi gas rumah kaca terbesar keempat di dunia pada tahun 2015. Sumber emisi tertinggi berasal dari deforestasi dan kebakaran hutan gambut yang kemudian diikuti oleh emisi dari pembakaran bahan bakar fosil untuk energi.
Tak heran kemudian beberapa organisasi masyarakat sipil, baik di Indonesia maupun internasional, bersama-sama melakukan kampanye penyelamatan hutan di Indonesia. Sebagian kampanye organisasi masyarakat sipil itu telah menuai hasil. Kebijakan moratorium izin di hutan primer dan sawit serta rehabilitasi gambut tak dapat dipisahkan dari kerja-kerja kampanye organisasi masyarakat sipil tersebut.
Namun, meskipun di atas kertas sudah ada berbagai kebijakan yang pro-penyelamatan hutan, dalam prakteknya tidak seindah yang ada di atas kertas. Di di saat muncul kebijakan moratorium sawit, misalya, justur terjadi pelapasan hutan produksi menjadi kebun sawit seluas 9.964 ha di Sulawesi Tengah. Direktur Walhi Sulawesi Tengah Abdul Haris Lapabira pun meduga ada pelanggaran hukum dalam proses pelepasan kawasan hutan tersebut. Fakta ini tentu meruntuhkan narasi mengenai capaian dari kebijakan penyelamatan hutan oleh pemerintah.
Pertanyaan berikutnya tentu saja adalah bagaimana potret pertarungan narasi dalam kampanye perubahan iklim di Indonesia? Setidaknya ada beberapa narasi yang muncul dalam dinamika kampanye perubahan iklim. Narasi-narasi itu adalah narasi ekologis, ekonomi dan nasionalisme. Tak jarang narasi-narasi tersebut saling menunjang bahkan saling menegasikan.
Narasi ekologi paling banyak digunakan oleh organisasi masyarakat sipil dalam kampanye perubahan iklim. Ide penyelamatan bumi dari ancaman bencana ekologi dari pemanasan global adalah narasi yang selalu dikumandangkan dalam kampanye perubahan iklim. Perlindungan hutan alam dan transisi energi fosil ke energi terbarukan adalah narasi yang sering muncul dalam kampanye tersebut.
Kelebihan dari narasi ekologi ini adalah hampir tidak ada yang menolak substansi dari narasi tersebut. Tidak ada yang tidak setuju terhadap penyelamatan bumi dari bencana ekologi. Tapi bukan berarti tidak ada perlawanan terhadap narasi ekologi itu. Seringkali untuk melawan narasi ekologi dalam kampanye perubahan iklim tidak menggunakan narasi yang sama.
Narasi baru pun dibangun untuk melemahkan narasi ekologi dalam kampanye peruabahan iklim tersebut. Narasi yang dibangun adalah narasi ekonomi dan nasionalisme.
Narasi ekonomi dibangun untuk menggambarkan bahwa produksi perkebunan yang beroperasi di hutan dan lahan gambut adalah penyumbang devisa negara. Jutaan orang pun diklaim bergantung hidupnya dari perkebunan yang beroperasi di hutan dan lahan gambut. Kampanye perubahan iklim dengan narasi ekologi pun dituding tidak peduli terhadap jutaan orang yang hidupnya tergantung pada perkebunan tersebut.
Dari narasi ekonomi itulah kemudian berkembang menjadi narasi nasionalisme. Narasi nasionalisme dibangun atas dalih hasil perkebunan itu merupakan penghasil devisa, sehingga kampanye perubahan iklim dengan narasi ekologi, tak lebih adalah upaya untuk menghancurkan kedaulatan Indonesia. Aktor-aktor yang mengkampanyekan perubahan iklim dituding sebagai antek asing.
Narasi ekonomi yang berkembang menjadi narasi nasionalisme pun berujung pada upaya membunuh pembawa pesan dengan meciptakan label sebagai antek asing terhadap pembawa pesan kampanye perubahan iklim.
Dalam isu sawit, narasi nasionalisme juga digunakan untuk melawan narasi ekologi. Narasi nasionalisme ini digunakan bukan untuk melawan substansi isu yang menjadi perdebatan publik namun untuk ‘membunuh’ pembawa pesan (kill the messenger).
Dengan labeling terhadap pihak-pihak yang mengkampanyekan perubahan iklim sebagai antek asing, maka semua narasi ekologi tentang peruabahan iklim yang mereka ungkapkan menjadi tidak relevan. Potensi pelabelan itu menjadi kuat karena sebagian NGOs masih menerima pendanaan dari lembaga donor luar negeri.
Pertanyaan berikutnya tepatkan narasi ekonomi dan nasionalisme itu digunakan untuk melawan narasi ekologi dalam kampanye perubahan iklim? Untuk menggugat narasi nasionalisme, terlebih dahulu kita perlu memeriksa dalih bahwa perkebunan yang berada di hutan dan lahan gambut itu menguntungkan Indonesia secara ekonomi.
Mungkin benar bahwa secara total hasil dari perkebunan itu menyumbang devisa. Namun pertanyaannya siapa sejatinya yang menikmati hasil perkebunan skala besar di hutan dan lahan gambut itu?
Sebuah penelitian Transformasi untuk Keadilan (TUK) Indonesia mengungkapkan bahwa 25 grup usaha kelapa sawit juga telah mengontrol 3,1 juta hektare lahan kebun kelapa sawit di Indonesia. Sementara, 62 persen lahan kelapa sawit yang dikendalikan 25 grup bisnis tersebut berada di Kalimantan. Apa ini artinya? Artinya, segala kepentingan ekonomi dalam perkebunan yang diklaim sebagai kepentingan nasional itu sejatinya adalah kepentingan 25 group bisnis itu.
Klaim narasi nasionalisme dengan sendirinya gugur. Justru klaim nasionalisme yang digunakan untuk melawan kampanye perubahan iklim sejatinya adalah topeng untuk menyembunyikan kepentingan 25 group bisnis yang mengendalikan jutaan hektar lahan sawit itu.
[ad_2]
Sumber Berita