[ad_1]
Perhelatan pemilihan presiden berlangsung sekitar 2-3 tahun lagi, belum ada kesepakatan mengenai jadwal yang pasti. Namun, sebagian elite politik telah menunjukkan minatnya secara terbuka untuk maju ke perhelatan politik tersebut, di antaranya Airlangga Hatarto dan Muhaimin Iskandar. Pendukungnya di Golkar dan PKB memasang baliho-baliho berukuran besar sebagai tanda perkenalan dengan rakyat. Bahkan PKB melempar wacana bahwa pasangan Airlangga-Muhaimin tampak cocok untuk maju sebagai pasangan capres-cawapres.
Baliho Puan Maharani juga meramaikan jalan-jalan. Meskipun PDI-P belum secara terbuka dan resmi mengumumkan calon presidennya, tapi lingkaran elite partai ini terlihat menghendaki Puan yang maju. Sebagai Ketua DPR Puan juga semakin sering mengomentari isu publik, khususnya kinerja pemerintah, walaupun komentar standar. Figur lain yang tidak disukai sebagian elite partai PDI-P tapi terlihat populer dan tampak berminat untuk maju ke perhelatan pilpres tak lain Gubernur Jateng Ganjar Pranowo.
Ada nama-nama lain yang juga kerap disebut atau muncul dalam survei, seperti Anies Baswedan dan Ridwan Kamil, bahkan juga Jokowi didorong-dorong agar maju lagi untuk periode ketiga. Nama lain yang kemudian juga muncul ialah Luhut Binsar Panjaitan. Kader Gerindra juga sudah meniup terompet agar Prabowo Subianto bertarung lagi di pilpres mendatang, tapi belum ada pernyataan resmi mewakili partai. Sebagian orang punya minat, tapi kelihatannya masih malu-malu.
Di balik dinamika tingkat elite itu keramaian disemarakkan oleh antusiasme sebagian lapisan di bawah. Mengikuti jejak pilpres yang lalu, bermunculan berbagai organisasi relawan. Ada Sahabat Ganjar, ada Gema Puan, Sahabat Luhut, Relawan Muhaimin Peduli, Barisan Airlangga Hartarto atau Bara. Sebagian kelompok relawan ini terlihat resmi dibentuk sepengetahuan politisi yang diusung, sebagian lagi seolah-olah muncul dari bawah dengan menyebut diri relawan atau pendukung yang bersimpati pada politisi tertentu.
Relawan merupakan fenomena tersendiri dalam perhelatan pilpres. Untuk satu figur politik yang ingin maju bisa ada beberapa kelompok relawan, yang menurut pengakuan mereka tidak saling mengenal kecuali memiliki kesamaan figur yang didukung. Media massa pernah memberitakan bahwa ada kelompok relawan yang semula tidak saling mengenal, namun kemudian menjalin komunikasi.
Mengapa sebagian masyarakat begitu antusias menjadi relawan? Bukankah membentuk kelompok dan mengadakan aktivitas relawan membutuhkan pengorganisasian, termasuk sumberdaya, waktu, dan dana? Apakah dalam jagat politik masa sekarang masih ada makan siang gratis atas nama perjuangan dan cita-cita bersama? Apakah relasi antara relawan dan politisi ini simbiosis mutualistis ataukah hanya orang atau pihak tertentu saja yang memetik keuntungan dari penggalangan relawan ini?
Pertanyaan tadi lumrah saja muncul, sebab penunjukan sejumlah relawan untuk duduk di posisi pemerintahan, di antaranya sebagai staf ahli, maupun perusahaan BUMN, umumnya komisaris, boleh jadi mengobarkan api semangat warga untuk membentuk kelompok relawan. Istilah relawan mengesankan bahwa mereka secara sukarela mengusung dan mendukung capres, dan bahkan relawan bekerja keras agar capres mereka dipilih oleh mayoritas rakyat. Benarkah tak ada motif lain?
Sayangnya, relawan seringkali heboh, entah atas kemauan sendiri, dibiarkan heboh, atau disuruh heboh. Inilah yang kerap membawa wacana demokrasi kita terisi oleh isu-isu yang tidak selalu dapat dipastikan kebenarannya karena bertumpu pada rumor, gosip, atau malah keinginan para relawan sendiri. Umpamanya, dorongan agar Presiden Jokowi menjabat tiga periode atau perombakan kabinet, juga pencalonan Ganjar. Jokowi, sejauh ini, membantah ia berminat untuk menjabat presiden tiga periode; sedangkan Ganjar belum pernah menegaskan rencananya untuk maju ke gelanggang pilpres meskipun beberapa kelompok relawan telah mengungkap dukungannya.
Relawan memang realitas yang mewarnai dinamika politik, sayangnya dengan cara dan kualitas yang mencemaskan. Mereka lebih sibuk berupaya menghimpun dukungan dan membangun popularitas untuk calon presiden, namun cenderung mengabaikan isu-isu yang lebih penting bagi pengembangan demokrasi kita agar berfungsi lebih sehat dan lebih adil. Mereka cenderung kurang menaruh perhatian tentang, misalnya, bagaimana agar aspirasi rakyat dapat memperoleh perhatian yang lebih layak dari capres mereka. Apa yang ditawarkan capres mereka untuk memastikan bahwa aspirasi rakyat akan diserap bila capres mereka terpilih? Mereka cenderung hanya peduli apakah rakyat mengenal capresnya dan apakah akan memilih capresnya.
Sayangnya pula, keramaian seperti itu yang terdengar lebih heboh. >>
[ad_2]
Sumber Berita