[ad_1]
Oleh: SAPARUDDIN
Ketua Umum KIPP Pasaman 2016-2019
Kegaduhan pemecatan dengan hormat 56 pegawai KPK yang tak lulus TWK memasuki babak surut. Kapolri Jenderal Listyo Sigit berinisiatif menampung 56 pegawai itu di Kepolisian RI. Mereka diharapkan bisa memperkuat Direktorat Tipikor Bareskrim Polri.
Langkah itu diusulkan langsung oleh Kapolri kepada Presiden Jokowi. Presiden pun sudah menyatakan persetujuan. Untuk itu Polri diminta berkoordinasi dengan Kementerian PAN dan BKN. Juga, tentu saja, dengan KPK.
Inisiatif Kapolri direspon positif oleh banyak pihak. Komnas HAM, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), sejumlah anggota Komisi III DPR RI, dan bahkan KPK sendiri menilainya sebagai jalan tengah yang bijak. Para pegawai KPK yang dipecat itu juga menghargai langkah Kapolri. Walau mereka masih belum memutuskan menerima atau tidak.
Namun tanpa menafikan nilai positifnya, ada dua pertanyaan mengganjal terkait rencana Kapolri itu. Pertama, apakah itu sikap resmi presiden dan, kedua, apakah itu pengistimewaan eks-pegawai KPK? Saya ingin mengulasnya secara ringkas saja.
Sikap Resmi Presiden?
Ada pandangan, antara lain dari Komnas HAM dan pengamat, yang menilai langkah Kapolri itu mencerminkan sikap resmi Presiden Jokowi. Dikatakan, dengan diterimanya 56 pegawai KPK yang tak lulus TWK, Presiden hendak menyatakan pelaksanaan TWK KPK bermasalah.
Benarkah demikian? Saya pikir pandangan itu tak tepat. Bukan sikap Presiden Jokowi membenturkan dua institusi di bawahnya. Sebagaimana Jokowi menghargai langkah KPK memecat 56 pegawai yang tak lulus TWK, begitu pula dia menghargai rencana Polri merekrut para pegawai itu.
Jokowi jelas meminta kepatuhan pada prosedur rekrutmen ASN. Polri harus koordinasi dengan Kementerian PAN dan BKN. Artinya perekrutan itu tidak bersifat otomatis. Begitu hari ini (30/9/2021) resmi dipecat dari KPK, tak berarti 56 pegawai eks-KPK itu otomatis jadi ASN di Polri.
Kementerian PAN dan BKN pasti akan minta Polri tetap menjalankan prosedur seleksi ASN. Sebab 56 pegawai KPK itu bukan ASN, bahkan sudah jadi pengangguran terhitung hari ini, Kamis 30 September 2021. Prosedur TWK, dengan cara tersendiri, mestinya tetap akan dilakukan. Sebab Polri pasti tidak menerima seseorang menjadi ASN, jika dia — sebagaimana diindikasikan TWK KPK- tidak setia pada Pancasila dan UUD 1945 dan tidak patuh kepada pemerintah dan pimpinannya.
Sangat mungkin metode TWK Polri berbeda dengan TWK KPK, karena adanya perbedaan sistem, fungsi, dan karakter institusi. Misalnya, ASN KPK bertindak sebagai penyidik. Tapi ASN Polri hanya bisa bertindak sebagai administrator dan atau tenaga ahli. Penyidik formal kepolisian harus berstatus polisi, bukan ASN Polri.
Dengan demikian, tak bisa disimpulkan bahwa Presiden Jokowi menganggap TWK KPK tidak bermasalah. Sebab KPK menjalankan TWK sesuai dengan fungsi, karakter, sistem, dan kondisi internal KPK sendiri.
Polri pun pasti akan menempuh langkah yang setara. Targetnya agar Polri tidak kesusupan ASN yang tidak setia pada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Pemerintah RI.
Keistimewaan Mantan Pejabat KPK?
Rekrutmen eks-pegawai KPK yang tak lukus TWK oleh Polri mungkin akan menjadi preseden buruk dalam birokrasi rekrutmen ASN. Para CPNS yang gagal TWK di berbagai instutusi pemerintahan akan mempertanyakan aspek keadilannya. Jika eks-pegawai KPK itu mendapat fasilitas “karpet merah” menjadi ASN Polri, mengapa mereka tidak?
Tapi kasus TWK KPK yang berujung pemecatan 56 pegawai yang tak lulus memang tak lagi murni soal birokrasi rekrutmen ASN. Muatan politisnya dominan. Dengan menimpakan kesalahan pada Presiden Jokowi, TWK dan pemecatan 56 pegawai itu dinilai sejumlah pihak sebagai tindakan pelemahan terhadap KPK.
Sebenarnya itu absurd. Seolah 56 pegawai yang tak lulus TWK KPK itu jauh lebih hebat dan penting dari 1,274 pegawai yang lulus. Padahal tidak ada bukti KPK menjadi lemah setelah 56 pegawai itu dinon-aktifkan. Faktanya KPK behasil menangkap tersangka korupsi: 1 orang menteri, 2 orang bupati, dan 1 orang anggota DPR.
Karena itu langkah Kapolri harus dipahami sebagai langkah politis juga. Tujuannya untuk meredam kegaduhan terkait pemecatan 56 pegawai KPK yang telah melebar ke mana-mana. Bahkan dimanfaatkan oposisi sebagai modal politik untuk menyudutkan Presiden Jokowi.
Langkah Kapolri kini menempatkan 56 pegawai KPK pada posisi dilematis. Antara menerima atau menolak jadi ASN Polri. Jika menolak, maka mereka akan dinilai punya kepentingan pribadi di KPK. Sebab ASN harus siap ditempatkan di instansi mana saja bila diperlukan.
Jika menerima tawaran Kapolri, maka mereka harus menerima kenyataan degradasi status dan wewenang. Dari penyidik tipikor menjadi administrator atau tenaga ahli tipikor, tanpa wewenang penyidikan. Dari sisi kepentingan mereka, hal itu bisa dimaknai sebagai pemretelan wewenang.
Karena itu secara psikologis, mungkin tak mudah juga bagi 56 eks-pegawai KPK untuk menerima posisi sebagai ASN Polri. Terutama bagi tujuh orang mantan perwira Polri yang memilih mundur dari Polri tahun 2012, saat ribut kasus korupsi Simulator SIM di Polri (kasus “cicak vs buaya”)
Andaikan juga begitu, maka realisasi tawaran Kapolri setidaknya bisa memperkecil skala kegaduhan pasca TWK dan pemecatan 56 pegawai KPK. Bukan hanya memperkecil jumlah eks-pegawai KPK yang jadi “penganggur berpolitik”. Tapi juga akan menempatkan mereka pada posisi sebagai pejuang kepentingan individualnya. Bukan lagi sebagai pejuang marwah KPK dan pemberantasan korupsi.
Apapun pilihan mereka, hal itu implisit adalah cerminan hasil TWK. Setia mengabdikan diri untuk tugas pemberantasan korupsi atau tidak, walau di tempat, posisi, dan wewenang yang berbeda. Kapolri telah memberikan peluang dan ruang yang sekaligus bermakna TWK untuk mereka.
[ad_2]
Sumber Berita