[ad_1]
Oleh: SAPARUDDIN, Ketua Umum KIPPDA Pasaman (2016-2019)
Mengikuti perkembangan yang terjadi dalam pusaran kekuasaan istana menarik untuk terus diketahui oleh seluruh elemen negeri ini, bukan hanya bagi kaum intelektual dan akademisi yang senantiasa menjadikan diskursus dalam pelbagai kesempatan. Lebih dari itu ialah rakyat sebagai penerima dampak dari setiap kebijakan yang lahir dari istana.
Dewasa ini sudah menjadi rahasia publik bahwa dewan perwakilan rakyat (DPR) dan majelis permusyawaratan rakyat (MPR) yang berada di Senayan menyampaikan usulan untuk melakukan amandemen terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Wacana usulan dari amandemen ialah memunculkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan mengembalikan fungsi MPR sebagai lembaga tinggi Negara.
Sayangnya, bukan hal itu yang membuat hangat perbincangan, melainkan periode masa jabatan presiden dan wakil presiden berdasarkan amandemen ke-I pada sidang umum MPR 14-21 Oktober 1999 pasal 7 UUD 1945 pembatasan jabatan Presiden hanya bisa dipilih kembali sebanyak satu kali atau (5) lima tahun dalam satu periode jabatan selanjutnya.
Berdasarkan uraian tersebut, tentunya sebagai bagian dari masyarakat yang secara konstitusional memiliki kebebasan berpendapat dalam menjaga keutuhan bangsa dan negara. Sudah sepatutnya mengajukan usulan kepada wakil rakyat, bukan hanya mengkritik pemerintah tanpa memberikan solusi atas masalah tersebut.
Koalisi VS Oposisi
Dalam sistem yang menganut presidensial seperti Indonesia sudah menjadi hal lumrah bahwa dalam kebijakan mengelola Negara menjadi tugas presiden sebagai pimpinan tertinggi. Sementara produk hukum diserahkan kepada legislatif yang merupakan tempat menyalurkan aspirasi dari rakyat.
Selain itu, pemerintah (eksekutif) tidak memiliki tanggung jawab terhadap dewan perwakilan rakyat, sehingga kekuasaan eksekutif berada diluar pengawasan langsung parlemen. Dalam perjalanannya kerap kali muncul persoalan ketika system ini dikombinasikan dengan system multi partai.
Oleh karenanya, rakyat harus mengetahui partai politik yang tergabung dalam koalisi pemerintah dan partai politik yang berada di luar pemerintah. Lantaran, ini menjadi salah satu hal utama dalam memberikan pesan untuk disampaikan terhadap presiden dan pembantunya (menteri), agar setiap program bisa sampai kepada rakyat yang dipimpinnya.
Dengan demikian, tentu semakin jelas bila muncul problem atas undang-undang yang tidak pro terhadap rakyat, maka perlu attention publik terhadap anggota dpr ri yang tak menyampaikan aspirasi dari rakyat atau tersandera atas intruksi dari pimpinan partai politik dikarenakan bisa kena sanksi berupa pergantian antar waktu dengan alasan tak menaati pimpinan atau pembangkangan terhadap intruksi pimpinan.
Sudah menjadi rahasia umum bila parpol bergabung menjadi bagian dari pemerintah dipastikan dapat jabatan baik di kementerian atau badan Negara setara menteri.
Aspirasi Terjerat Kekuasaan
Dalam pelaksanaan program-program pemerintah, berulang kali mendapat kritik dan menjadi sasaran dari masyarakat dan dewan perwakilan rakyat atas kebijakan yang dianggap tidak pro rakyat.
Sehingga membutuhkan dukungan dari partai koalisi dalam menjalankan program prioritas pemerintah guna memberikan kemaslahatan bagi rakyat.Saat aspirasi sudah disampaikan melalui orang-orang yang menjadi wakil rakyat di senayan, itu menjadi klaim bahwa mereka menyuarakan atas nama rakyat.
Sebagaimana telah kita ketahui anggota partai koalisi pemerintah yaitu, PDI-P (128 kursi), PKB (58 kursi), P-Nasdem (59 kursi), P-Golkar (85 kursi), P-Gerindra (78 kursi), PPP (19 kursi), PAN (44 kursi) menjadi partai yang baru saja bergabung menjadi bagian dari koalisi pemerintah. Sementara PSI, PKPI, dan PERINDO merupakan partai koalisi yang tidak memiliki perwakilan di senayan.
Sedangkan partai oposisi menyisakan P-Demokrat (54 kursi) dan PKS (50 kursi) yang memiliki perwakilan di senayan.
Namun, lantaran sudah menjadi partai bagian dari koalisi tentu suara yang diterima dari rakyat sudah tidak menjadi hal utama dari intruksi pimpinan partai sebagai kendaraan politik yang telah menghantarkan duduk di senayan.
Ironis memang, bila kondisi negeri yang sedang berusaha pulih pasca pandemi ini terus berpolemik dalam wacana amandemen, sementara presiden dan jubir istana sudah menyatakan bahwa tidak setuju bila amandemen dilakukan untuk membahas masa jabatan presiden yang merupakan hasil amandemen pertama amanat dari gerakan reformasi setelah tumbangnya rezim orde baru pada 21 Mei 1998.
Justru, bila mau lepas dari jeratan kekuasaan maka harus melibatkan rakyat dalam menyusun dan melaksanakan program prioritas pemerintah. Aspirasi bisa disampaikan secara lugas dan gamblang oleh para wakil rakyat atas dasar aspirasi rakyat bukan hanya claim semata.
Begitupun pemerintah, untuk bisa melepaskan diri dari intervensi partai pendukung koalisi yang kerap kali membuat gaduh atas nama aspirasi rakyat, harus bisa memberikan rasionalisasi dan bukti kinerja yang memiliki output terhadap kemajuan bangsa dan Negara.
Pada akhirnya, senayan menjadi gedung sakral dalam menyusun produk-produk hukum atas dasar aspirasi rakyat bukan semata-mata tempat berbagi proyek dan jabatan dalam menikmati fasilitas Negara untuk kepentingan kelompok dan golongan.
Hal demikian berlaku juga bagi Presiden dan wakil presiden beserta para pembantunya sebagai pelaksana program yang didukung dengan anggaran dan fasilitas guna membawa Negara menjadi lebih maju dan berkembang dari Negara-negara lainnya.
[ad_2]
Sumber Berita