[ad_1]
Pimpinan KPK akhirnya memukul gong yang menentukan nasib 56 pegawai lembaga antirasuah ini: mereka dipecat. Singa-singa KPK yang ditakuti koruptor itu tidak lagi boleh bekerja di lembaga tempat mereka mengabdi belasan tahun mulai 30 September 2021 nanti. Dengan nada getir, penyidik senior Novel Baswedan—korban penyiraman air keras hingga rusak penglihatannya, berkata: “Kami berupaya memberantas korupsi, tapi kami diberantas.” (Berita utama Koran Tempo, Kamis 16 September 2021).
Mereka ditetapkan selesai bekerja di KPK per 30 September nanti, sehingga Direktur Sosialisasi & Kampanye Antikorupsi KPK Giri Suprapdiono—yang juga dipecat—secara satir mengistilahkan tindakan pemberhentian itu sebagai G30STWK. Mereka dipecat karena dinyatakan tidak lolos tes wawasan kebangsaan versi pimpinan KPK. Pemecatan ini menegaskan adanya tahapan yang jelas dari upaya melemahkan pemberantasan korupsi di negeri ini.
Tapi siapa yang peduli? Lihatlah sikap para elite-wan dan elite-wati di negeri ini: membalik badan, menutup kuping, memejamkan mata, dan menahan mulut agar tidak bersuara menyaksikan peristiwa ironis tersebut. Padahal di masa kampanye yang lalu mereka dengan gegap gempita menggelorakan kampanye antikorupsi sembari mengepalkan tangan meninju langit.
Para singa KPK itu juga sudah mendatangi banyak tempat yang kata orang bisa menemukan keadilan perkara teweka. Nyatanya, datang ke Mahkamah Konstitusi, mentok; datang ke Mahkamah Agung, mental tanpa sidang; berkirim surat ke Istana, tak digubris hingga kini. Kepada siapa lagi mereka berharap? Juga kita?
Memang ada sih yang menanggapi dengan baik, misalnya Komnas HAM. Tapi, setelah bekerja beberapa minggu dan sudah menemukan sejumlah fakta serta telah menarik kesimpulan bahwa TWK itu melanggar HAM, ternyata KPK cuek saja, Presiden Jokowi pun tak kunjungan menjawab permintaan audiensi Komnas HAM. Apakah Komnas HAM tak lagi bertaring? Rekomendasi institusi ini tidak dilirik.
Apakah mengherankan bila ternyata elite politik juga diam seribu bahasa menyaksikan kekisruhan yang berlangsung di KPK? Tidak perlu heran. Walaupun tidak berkata-kata, kita bisa merasakan bahwa para elite ikut bersuka cita dengan langkah pimpinan KPK di bawah komandan Firli Bahuri. Sebab, singa-singa itu sudah berhasil diusir dari kandangnya—kandang yang dulu membuat koruptor gemetar setiap kali memasukinya.
Para elite kekuasaan—siapapun mereka—lebih suka berdiam diri. Politisi yang biasanya lantang menanggapi isu-isu kontroversial terlihat lebih nyaman jika tidak merespon. Alasannya sederhana saja, sebab dari serangkaian peristiwa yang berlangsung di KPK hingga pemecatan singa-singa itu, para elite memetik keuntungan tanpa mereka perlu mengotori tangan sendiri. Mereka cukup menyiapkan panggung beserta perbekalannya, seperti UU KPK hasil revisi, serta para aktornya yang kini duduk di pucuk pimpinan KPK dan Dewan Pengawas.
Nah, elite kekuasaan—di politik maupun ekonomi—kini mulai menikmati jerih payah singkat mereka dalam merevisi undang-undang itu. Jika ada elite kekuasaan yang berkata bahwa ia tidak bisa campur tangan karena masing-masing urusan sudah ada lembaga yang menanganinya, maka elite itu sebenarnya sedang menjaga agar tangannya tetap bersih sembari menikmati keuntungan [power advantage] dari peristiwa itu.
Mereka berlepas tangan, membalik badan, menutup mata dan telinga, berpura-pura tidak tahu, karena mereka mendapatkan keuntungan dari rangkaian peristiwa itu. Melemahnya KPK menjadi keuntungan bagi elite—kepentingan mereka tidak akan mudah terganggu, tidak seperti di masa lalu ketika mata-mata singa itu tajam mengawasi dan siap menerkam. Kini mereka mulai memetik keuntungan bagi kepentingan masing-masing, dan mereka sudah tahu sama tahu untuk tidak saling mengganggu.
Coba tengok, apakah ada elit penguasa yang punya suara tentang apa yang terjadi di KPK saat ini? Tidak ada. Tidak ada. Mereka diam. >>
[ad_2]
Sumber Berita