Tak Berkategori  

Memaknai Santri Melalui Falsafah Jawa – Humaniora

[ad_1]

Oleh: M. Nur Kholis Al Amin

Sehat, Pagi ini (pagi ini), seiring telah masuknya waktu pertengahan bulan Oktober, kita akan mengulik makna santri melalui pendekataan kekayaan tradisi lokal, dalam hal ini adalah kearifan Jawa.

Di bumi Nusantara atau lebih spesifiknya, di era kemerdekaan yang kemudian dikenal dengan sebutan Indonesia, pada telah dittapkan hari santri yang berlaku secara Nasional, tepatnya pada bulan Oktober.

Ya, setiap kebijakan pastinya ada yang pro dan jelasnya juga ada yang kontra. Itu sudah menjadi hukum alam teman-teman. Jadi, gak usah dibikin ribet bin susah, bahkan sampai lahir perpecahan sesama anak bangsa.

Tulisan ini, tidak akan melihat dari perspektif perbedaan atau mau tidaknya golongan tertentu terhadap hari santri. Namun, tulisan ini hanya akan melihat makna santri melalui perspektif sebagian kecil budaya Jawa, khususnya bahasa sanepo atau yang jamak dikenal masyarakat dengan istilah majas.

Well, langsung saja nih. Jadi, kekayaan bahasa dan tradisi Jawa itu ternyata banyak banget, salah satunya melalui makna yang terkandung dalam kata santri.

Di mana, secara sederhana, ketika kita berbicara tentang siswa, maka momennya dalam pola pikir kita akan mengacu pada arti seseorang yang mencari (luru) ilmu, luru pencerahan, bahkan mengacu pada sarungan, pecian, dan tawadhu’ (kesopanan).

Lebih lanjut, melalui sanepo dengan bahasa Jawa tersebut–walaupun sebagian golongan masyarakat gak setuju, ya, sah-sah saja–makna santri bisa memiliki substansi yang sangat signifikan sebagai bekal kehidupan ini. Karena pada dasarnya, “santri” terbentuk dari kata “san“(menyimpan) dan”tri“(tiga) yang artinya, menjaga tiga hal. Jadi, seseorang yang hidup sebagai hamba Tuhan harus bisa menjadi murid atau menjaga tiga hal, yaitu:

  1. Toto/ tata; dalam kehidupannya haruslah ditoto/ ditata. Sehingga, disitulah Islam mengenalkan Agama dengan melalui aturan-aturan/ hukum (Agama lain pun, pasti juga memiliki ajaran tentang hukum) yang bertujuan untuk menjaga tata tertib manusia/ masyarakat. Bahkan, kalau dalam bahasa hukum (umum) pun dikenal denan istilah dimana masyarakat disana( ada masyarakat, maka ada hukum). Sehingga, dalam hidupnya pun manusia harus “toto”, yang dijalankan secara berhati-hati.
  2. Titi: dalam melaksanakan kewajibannya sebagai mukallaf/ orang yang terbebani hukum, dalam kesehariannya sebagai upaya pengamalan khitob Allah haruslah setiti (berhati-hati, sadar, waspada) dan selalu berpikir dan diiringi dengan berdzikir (kesadaran) denganNya. Agar mampu mendapatkan ketentraman
  3. Tentrem; salah satu tujuan hidup manusia adalah untuk memperoleh ketentraman, ketenangan, ketentraman. Hingga telah disapa dalam Al-Qur’an agar memperoleh jiwa yang muthmainnah (tenang) tentram, sehingga mampu mendapatkan Ridho Allah.

Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan puas. Masuklah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.

#SelamatHariSantri

#TotoTitiTentrem



[ad_2]

Sumber Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »