[ad_1]
Pernahkah Anda membaca suatu berita, tetapi Anda tidak bisa mendapat poinnya? Atau membaca berita berjudul aneh dan tidak logis? Atau membaca sebuah berita berulang-ulang agar tidak salah paham dengan isi tersebut?
Pusing dan bingungnya Anda dalam membaca sebuah berita atau karya jurnalisme bukan karena Anda tidak mampu memahaminya. Hal itu mungkin karena penulis tidak memakai kalimat yang efektif. Memang soal bahasa ini terkesan sepele karena Anda pun sudah mulai belajar hal ini sejak kelas tiga atau mungkin empat SD. Namun, apakah Anda sudah mengimplementasikannya ketika Anda menulis atau membuat sebuah karya jurnalisme?
Ada banyak komponen penting dalam kalimat efektif, antara lain penggunaan tanda baca, penulisan kalimat sesuai kaidah, penulisan kalimat yang logis, hemat, dan koheren, serta masih banyak lagi. Tentunya, hal ini tidak bisa dipahami jika Anda hanya mengenalinya saja. Anda harus mempraktikkan dan melatih keterampilan ini.
Salah satu dari sekian banyak komponen penting dalam kalimat efektif adalah penggunaan prefiks (imbuhan awal) “di-” dan kata depan “di”. Pastinya, Anda memang sudah tidak asing dengan kata “di”.
Kenapa penggunaan kata “di” ini menjadi pembahasan di sini? Karena penulis masih banyak orang yang salah menempatkan kata “di” yang dipisah dan digabung. Ya, alasan ini memang terkesan klise atau klasik. Namun, jika sebuah bangsa menggunakan tata bahasa yang baik, bahasa itu akan mudah dikenal dan menjadi kebanggan untuk bangsa itu sendiri.
Secara teoritis, Anda mungkin sudah paham penggunaan kata “di” ini. Jika kata “di” digunakan sebagai imbuhan, kata tersebut harus digabung dengan kata selanjutnya. Misalnya adalah “di” + “gabung” menjadi “digabung”. Jika kata “di” digunakan sebagai kata depan, kata tersebut harus dipisah dengan kata selanjutnya. Misalnya adalah “di” + “rumah” menjadi “di rumah”. Aturan ini bisa digunakan dan diterapkan sesuai konteks kalimat yang dibuat.
Namun, secara praktis, masih banyak orang yang menggunakan kata “di” bukan pada tempatnya. Contoh nyatanya adalah kalimat “rumah di jual tanpa perantara”. Secara teoritis, kalimat itu berarti rumah yang berada di sebuah tempat/lokasi bernama jual. Padahal, sang pembuat kalimat tersebut bermaksud rumah itu akan dijual kepada pembeli.
Permasalahan kecil ini seharusnya menjadi perhatian untuk semua warga negara Indonesia. Memang hal kecil, seperti penggunaan kata “di” terkesan sepele, tetapi implementasi PUEBI dapat memperkaya bahasa Indonesia itu sendiri nantinya. Jika bukan kita yang mengimplementasikan, siapa lagi nanti yang akan mewariskan bahasa Indonesia yang baik dan benar kepada anak dan cucu kita.
Mari kita jaga budaya berbahasa Indonesia yang baik dan benar!
[ad_2]
Sumber Berita