[ad_1]
- Buat Yudhistira Massardi, yang meminta saya membuat tulisan ini.
Sudah lama saya tidak mendengar nama Rene Descartes dikumandangkan di beberapa forum diskusi filsafat yang saya tonton melalui media sosial. Saya lebih sering mendengar nama-nama besar lain yang kerap disebut seperti Sokrates, Aristoteles, Plato (Yunani Kuno), kemudian Augustinus dan Thomas Aquinas (Abad Pertengahan), Hugo Grotius dan Thomas Hobbes (Zaman Renaissance), John Locke dan Immanuel Kant (Zaman Rasionalisme), Hegel dan Karl Max (Abad XIX), Michel Foucault, Jacques Derrida (filsuf kontemporer), dan seterusnya.
Maka, ketika nama Rene Descartes (1596-1650) disebut oleh aktris muda Cinta Laura dalam sebuah pidato bertopik moderasi beragama, saya tergoda untuk mengingat-ingat lagi beberapa pokok pikiran “bapak filsafat modern” itu. Tapi, ada baiknya kita simak dulu apa yang dikatakan Cinta Laura, sekaligus untuk mengapresiasi pidatonya.
Kata Cinta Laura, mengutip Descartes, “Manusia adalah mahkluk yang terbatas (terbatas), sedangkan Tuhan adalah sosok yang tak terbatas (tidak terbatas),” katanya. Cinta Laura kemudian melanjutkan paparannya, “Oleh karena itu, bagaimana kita sebagai mahkluk yang terbatas merasa mempunyai kemampuan untuk mengerti sesuatu yang jauh di luar kapasitas kita. Bagaimana kita sebagai mahkluk yang terbatas bisa memahami esensi dari sesuatu yang tidak terbatas. Inilah salah satu akar dari masalah yang kita miliki dalam masyarakat Indonesia sekarang. Karena pemahaman yang terbatas dan pemikiran yang tidak kritis, orang-orang terjebak dalam cara berpikir di mana mereka telah memanusiakan Tuhan, merasa memiliki hak dalam mendikte kemauan Tuhan, merasa tahu pikiran Tuhan, dan merasa berhak bertindak atas nama Tuhan. Inilah yang akhirnya seringkali berubah menjadi sifat radikal.” Untuk selanjutnya Anda bisa menyimak pidato Cinta Laura — di depan antara lain Menteri Agama dan Menteri Pendidikan– yang kini bertebaran di Tik Tok, YouTube atau media lainnya.
Descartes, terkenal dengan pidatonya Menurut saya (aku berpikir maka aku ada) memulai filsafatnya dengan metode kesangsian atau meragukan segala sesuatu, segala pengetahuan, kecuali dirinya sendiri yang sedang ragu-ragu. Ia sangat menekankan pentingnya subyek yang berpikir. Melalui jalan meragukan semua kebenaran, ia tiba pada kesimpulan bahwa terdapat satu hal yang tidak mungkin diragukan oleh manusia, yakni kesadarannya sendiri. Dengan begitu ia memastikan juga bahwa subyek adalah dasar serta titik tolak filsafat. Obyeknya adalah dunia di luar kesadaran manusia. Katanya, ada dua cara “adanya” seluruh realitas. Cara adanya subyek adalah roh atau pikiran, dan cara adanya obyek adalah materi atau kuantitas.
Kesangsian metodis Descartes ini dilatarbelakangi oleh ketidakpuasannya pada filsafat pada zamannya. Menurut dia, filsafat pada masa itu kurang sistematis, dan terutama kekurangan megtode ilmiah. Maka agar filsafat dan dan ilmu pengetahuan lain dapat diperbaharui, perlu suatu metode yang baik dan cocok, yakni kesangsian metodis. Kesangsian itu harus seradikal mungkin dan mencakup segala sesuatu. Sesudah kesangsian itu, maka akan tampak hal apa yang pasti dan tidak, betul dan tidak. Jika ada hal atau kebenaran itu yang tahan uji, maka itulah yang pasti. Hanya apa yang dapat diungkapkan dalam ide-ide yang terang dan terpisah baik-baik (ide yang jelas dan berbeda), seperti ide-ide dalam matematika, yang dapat diterima sebagai kebenaran. Pada saat seseorang menyangsikan (berpikir) itulah, maka ia ada. Maka, terkenalah apa yang dikatakannya: Oleh karena itu saya pikir saya (saya berpikir maka saya ada). Filsafat Descartes ini kemudian digolongkan sebagai aliran rasionalisme.
Tentang Tuhan (Tuhan), seperti yang dikutip Cinta Laura, merupakan salah satu ‘ide bawaan’ yang akan dipahami manusia tentang dirinya. Dua yang lain adalah “pemikiran” (pikiran) dan “luas” (perpanjangan). Menurut Descartes, orang mempunyai ide tentang “semuprna”. Harus ada penyebab yang sempurna pula untuk ide itu. Tapi karena manusia tidak dapat melampauianya, tidak dapat melebihi penyebabnya, maka penyebab wujud yang sempurna itu tidak dapat lain adalah Tuhan (Deus) sendiri. Maka Tuhan adalah sesuatu yang tidak terbatas, yang tidak mudah dipahami manusia. Jadi jangan sok paling mengerti tentang Tuhan, apalagi sok menjadi wakil Tuhan di dunia.
Sedangkan ide bawaan pikiran (pemikiran) adalah pemahaman manusia bahwa dirinya meruoakan makhluk yang berpikir. Dengan demikian harus diakui atau diteriuma bahwa pemikiran merupakan hakekat manusia. Lalu ide bawaan perpanjangan (keluasan) merupakan pemahan manusia bahwa materi sebagai keluasan, sesuatu yang dapat diukur. Keluasan ini dipelajari oleh para ahli ilmu ukur. Ini berkaitan dengan pandangannya tengtang menusia, Menurut Descartes, manusia terdiri atas dua substansi, yakni jiwa dan materi (tubuh). Hakekat jiwa adalah pemikiran dan hakekat materi materu adalah keluasan (extensio). Anmun Descartes memahami dua substansi itu terpisah satu sama lain. Maka seperti ada dualisme dalam kaitannya dengan manusia. Pertanyaannya: jadi bagaimana hubungan antara jiwa dan tubuh itu? Menurutnya, hubungan itu berlangsung dalam “grandula pinealis” (kelenjar kecil yang terletak di bawah otak kecil), meskipun pemecahan itu tidak memuaskannya.
Rasionalisme yang dimulai Desacartes ini kemudian disusul dengan munculnya pemikir seperti Nicolas Malebranche (bertolak dari ide yang jelas tentang Yang Tak Berhingga, dan dengam ide itu dia membahas tentang Tuhan, dunia, dan manusia). Lalu juga boleh disebut Baruch de Spinoza, yang pemikirannya sering disebut sebagai campuran antara rasionalisme dan mistik. Spinoza memang banyak berbicara tentang hubungan antara Tuhan, manusia, dan kosmos. Setelah itu muncul banyak lagi para pemikir yang dapat dikelompokkan menjadi penganut aliran rasionalisme dengan berbagai versinya.
Tetapi ada juga yang jelas-jelas tidak sepakat dengan Descartes. Salah satunya adalah Blaise Pascal. Ia menolak metode ilmu pasti yang dikembangkan Desartes sebagai paradigma dalam filsafat. Meski Pascal sendiri menekuni ilmu pasti dan ilmu alam, namun dia tampaknya juga manaruh perhatian tinggi terhadap logika hati. Menurut dia, hati mempunyai alasan-alasan yang sama sekali tidak diketahui oleh rasio atau akal budi. Ada sesuatu yang lebih penting daripada rasio, yakni “logika hati”. Kegiatan paling puncak dari rasio adalah mengakui bahwa rasio itu sendiri ladang-kadang terbatas. Rasio hanyalah salah satu sumber pengetahuan. Sumber lain adalah pengetahuan intuitif alias dari hati.
Descartes juga mendapat “serangan” dari aliran empirisme. Bagi penganut empirisme ini, bukan pikiran yang menjadi sumber utama segala pengetahuan, melainkan pengalaman, baik pengalaman lahiriah maupun batiniah. Jika menurut rasionalisme pengenalan dan pengetahuan berasal dari rasio, maka sebaliknya menurut empirisme pengenalan dan pengetahuan itu berasal dari pengalaman. Namun, harus dikatakan juga bahwa kaum empiris ini juga punya semangat rasionalisme, yakni hanya apa yang sungguh-sungguh dapat ditentukan realistasnya secara rasional, hal itu dapat diterima kebenarannya. Beberapa tokoh empirme ini antara Thomas Hobbes, John Lock, George Berkely, David Hume, dan lain-lain.
Demikianlah sekilas mengenai Descartes. Akhirnya, pesan sastrawan kita, Yudhistira Massardi, untuk Cinta Laura: “Teruslah menjadi generasi baru yang kritis dan sanggup membawa bangsa ini ke arah keberagaman yang tidak hanya indah, melainkan juga gagah dan megah!”
###
[ad_2]
Sumber Berita