[ad_1]
Seseorang yang sudah menempati posisi teratas dalam organisasi apakah tidak perlu membaca lagi ide-ide, gagasan, pikiran, pandangan, serta contoh-contoh kepemimpinan? Jika orang tersebut mengatakan tidak perlu, maka ia tidak layak untuk terus duduk di kursi kepemimpinan itu. Sebab, jika ia merasa sudah piawai tentang seluk beluk kepemimpinan hanya karena sudah mencapai puncak organisasi, ia akan mudah terlena dan lupa untuk apa ia menjadi pemimpin.
Banyak CEO perusahaan, organisasi nirlaba, maupun kepala pemerintahan yang tetap belajar ihwal kepemimpinan dengan kerendahan hati. Posisi puncak tidak membuat mereka terlena dan merasa tidak memerlukan lagi nasihat, saran, pikiran, maupun pandangan dari orang lain—bukan hanya mengenai isu-isu yang menjadi tanggung jawab mereka, melainkan yang lebih penting ialah tentang peran mereka sebagai pemimpin.
“Untuk apa saya jadi pemimpin dan bagaimana saya harus memimpin?” layak selalu jadi pengingat ketika seorang pemimpin dihadapkan pada situasi genting yang menunggu keputusannya. Ibarat suhu di dunia persilatan, semakin tinggi posisi seseorang, semakin ia harus memahami benar perannya sebagai pemimpin. Ini bukan sekedar menyelesaikan rencana dan agenda tertentu, tetapi tentang apakah ia telah menjalankan peran kepemimpinan sebagaimana mestinya seorang pemimpin. Pemahaman dan kesadaran ini yang akan membawa dirinya jadi pemimpin sejati atau penyebab tragedi bagi masyarakatnya.
Dalam buku Di dalam Otak Drucker, Jeffrey A Krames mengungkapkan pandangan Drucker mengenai kompetensi dasar yang wajib dikembangkan oleh pemimpin. Kompetensi dasar pertama, menurut Drucker, ialah kemauan, kemampuan, dan disiplin diri untuk mendengarkan. Kompetensi ini berada di urutan teratas dalam daftar kompetensi yang dibuat Drucker bagi pemimpin segala cuaca—baik kondisi normal maupun sedang dilanda krisis.
Sebagian pemimpin lebih cocok memainkan perannya saat keadaan normal, sementara pemimpin yang lain lebih tepat berperan saat kondisi sedang krisis. Namun, dalam kondisi normal maupun krisis, kemauan dan kemampuan mendengarkan ini wajib dimiliki oleh pemimpin. Drucker bahkan mengatakan dengan gamblang: “Semua orang bisa melakukannya, yang harus Anda lakukan adalah menutup mulut Anda.”
Kompetensi kedua ialah kemauan untuk berkomunikasi, membuat diri Anda dipahami orang lain. Banyak khalayak yang terkadang bukan hanya tidak memahami apa yang dikatakan seorang pemimpin, tapi juga tidak meyakini—benarkah ia mengucapkan hal itu dengan sungguh-sungguh ataukah itu sekedar pemanis bibir?
Dalam menangani isu-isu kontroversial, semakin menjadi penting bagi pemimpin untuk mengomunikasikan pikiran, sikap, dan tindakannya secara jelas kepada masyarakat. Bukan malah bersikap samar-samar sehingga membingungkan masyarakat, terlebih lagi jika pemimpin satu kali berkata ini dan lain kali berkata itu.
Drucker menyebutkan kompetensi ketiga yaitu jangan membuat alibi bagi diri Anda sendiri. Pemimpin tidak bisa mengelak dari tanggungjawab dengan mengatakan bahwa jangan semua urusan dikembalikan kepada saya. Kata Drucker, para pemimpin tangguh bertanggung jawab pada apa yang tidak berjalan dengan baik. Pemimpin tak boleh berpaling muka, menutup mata, berpura-pura tidak tahu, atau membuat dalih untuk menghindari tanggung jawab.
Alibi atau dalih adalah alasan-alasan untuk mengelak dari penggunaan wewenang yang sudah diberikan pada pemimpin untuk menjalankan tanggung jawabnya memperbaiki urusan yang ditangani secara tidak baik. Pemimpin tangguh menetapkan standar keunggulan—termasuk di dalamnya nilai-nilai yang menjadi tolok ukur, sehingga apabila ada hal-hal penting yang menyimpang dari nilai-nilai itu, ia akan bersikap dan bertindak, bukan berdalih atau membuat alibi. Pemimpin tangguh, menurut Drucker, tidak akan membuat alibi atau dalih.
Kompetensi dasar keempat yang harus dikembangkan oleh para pemimpin, kata Drucker, adalah pemahaman tentang betapa tidak berartinya Anda jika dibandingkan dengan tugas-tugas yang Anda lakukan. Pemahaman ini akan memotivasi para pemimpin untuk mengambil tindakan Segalanya dalam menjalankan perannya. Ia hanya berpikir untuk menunaikan tugasnya sebagai pemimpin dengan cara terbaik demi mencapai hasil terbaik bagi mereka yang ia pimpin.
Namun, kompetensi ini tidak mudah dipenuhi oleh pemimpin, terlebih apabila ia memiliki konflik kepentingan. Konflik kepentingan bagaikan kerikil yang terselip di dalam sepatu dan mengganggu gerak langkah pemimpin, sebab ia akan selalu mempertimbangkan apakah langkahnya akan mempengaruh kepentingan pribadinya dan kerabatnya atau tidak. >>
[ad_2]
Sumber Berita