[ad_1]
1 jam lalu
Zaman boleh canggih tapi tidak bermakna saat masih ada kaum buta huruf. Bagaimana kaum buta huruf jelang Hari Aksara Internasional? Inilah kisahnya
Dibaca : 17 kali
Katanya era digital, eranya teknologi hebat. Ternyata tidak semua orang bisa menikmatinya. Apalagi kaum buta aksara. Tapi begitulah adanya. Zaman boleh canggih. Tapi bila masih ada yang buta aksara di dekat kita, apalah arti itu semua?
Itulah yang dilakukan GErakan BERantas BUta aksaRA (GEBERBURA) TBM Lentera Pustaka di Kaki Gunung Salak Bogor. Sebuah perjuangan melek huruf, melek baca tulis untuk mereka yang membutuhkan uluran tangan orang-orang yang bisa. Seminggu 2 kali mereka belajar. Dari mengeja suku kata, kata hingga menulis nama dan tanda tangan. Para ibu warga belajar buta aksara GEBERBURA TBM Lentera Pustaka tergolong kaum tidak beruntung. Setelah di data, mereka memiliki tingkat pendidikan 33% SD dan 67% SD tapi tidak lulus. Maka wajar, saat ini mereka tergolong kaum prasejahtera. Bahkan tidak berdaya apa-apa di era digital yang banyak dielu-elukan orang modern.
Sebut saja Ibu Arniati, 52 tahun. Warga belajar GEBERBURA ini bertutur tiak ingin jadi orang yang buta huruf. Karena selama ini tidak ada yang mau mengajarinya baca-tulis. Alhasil pengalaman pahit dibohongi orang pun terjadi pada dirinya. Akibat tidak bisa membaca dan menulis. Lain lagi Ibu Kanah, 50 tahun yang bersyukur karena dengan bergabung belajar baca-tulis di GEBERBURA TBM Lentera Pusaka, kini tangannya yang kaku mulai bisa menulis sekalipun pelan-pelan akibat sakit saraf yang dialaminya. Bahkan ada Ibu Euis, 48 tahun, yang tetap ngotot belajar baca-tulis walau mengalami kendala sakit mata. Sehingga harus membaca teks dan menulis dari jarak mata yang sangat dekat. Kisah itu semua nyata terjadi di wara belajar di GEBERBURA TBM Lentera Pustaka yang kini ber-anggota-kan 9 warga belajar.
Memang tidak mudah mengajar kaum buta aksara. Selain sifatnya yang informal, warga belajar pun tidak ada absen dan tidak ada kenaikan kelas saat sudah bisa membaca dan menulis. Karena itu di GEBERBURA TBM Lentera Pustaka, ibu-ibu buta aksara selalu mendapat “hadiah” berupa seliter beras atau mie instan setiap kali selesai belajar. Agar mereka tetap mau datang belajar seminggu 2 kali. Sebagai motivasi belajar untuk mereka. Maklum di GEBERBURA, ibu-ibu buta aksara pun dihadapkan pada tantangan pekerjaan rumah, izin suami, dan rutinitas mengurus anak sehari-harinya.
Karena itu, Syarifudin Yunus, penggagas Gerakan BERantas BUta aksaRA (GEBERBURA) TBM Lentera Pustaka secara sukarela selalu hadir setiap minggu untuk mengabdi dan mengajar kaum buta aksara. Sekalipun bertempat tinggal di Jakarta, Syarif begitu panggilannya selalu datang untuk membantu kaum buta aksara terbebas dari belenggu buta aksara di era digital yang katanya canggih ini.
Siapa pun boleh tidak percaya, hari begini masih ada kaum buta aksara. Tapi itulah fakta yang terjadi di masyarakat. Apalagi di kaki Gunung Salak Bogor yang hanya 75 km dari Ibukota Jakarta, kok masih ada buta aksara? (Simak: https://www.youtube.com/watch?v=lr0oif_9ZyE)
Dan hasilnya, kini kaum ibu warga belajar GEBERBURA TBM Lentera Pustaka perlahan telah bisa membaca dan menulis sekalipun perlahan. Bisa menulis nama dan tanda tangan sendiri. Inilah aksi pemberantasan buta aksara yang bersifat nyata.
Maka ke depan. Semua pihak perlu bersinergi untuk lebih peduli kepada aktivitas pemberantasan buta aksara. Karena sejatinya, untaian huruf dan kata-kata sama sekali tidak bermakna saat masih ada kaum buta huruf atau buta aksara.
Jelang Hari Aksara Internasional tahun 2021 ini. Ada pesan agar akses ke-aksara-an di masyarakat bisa menjangkau semua lapisan. Terutama kaum buta aksara yang tidak terdeteksi selama ini. Agar gerakan berantas buta aksara kian terbuka, kian inklusif. Karena Hari Aksara Internasional tidak lagi sebatas euforia perayaan semata. Salam literasi #GeberBura #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka #KampungLiterasiSukaluyu
[ad_2]
Sumber Berita