Sebagian kader Gerindra sudah melontarkan wacana berupa permintaan dan dorongan agar Prabowo Subianto, Ketua Umum Gerindra, mencalonkan diri kembali dalam pemilihan presiden 2024.
Pernyataan resmi partai mengenai rencana pencalonan Prabowo sejauh ini belum ada, tapi bantahan pun tidak ada.
Tampaknya, pencalonan kembali Prabowo hanya perkara momen—menanti waktu yang mereka anggap tepat untuk mengumumkan sembari menjajagi calon pendampingnya.
Andai Prabowo benar akan mencalonkan diri kembali, maka untuk ketiga kalinya Prabowo maju sebagai calon presiden, bahkan yang keempat bila pencalonannya sebagai wakil presiden dihitung.
Pencalonan pertama terjadi pada 2014 ketika Prabowo berpasangan dengan Hatta Rajasa, ketika itu Ketua Umum PAN.
Pasangan ini kalah dari Jokowi-Jusuf Kalla. Pencalonan kedua sebagai capres pada 2019, Prabowo berpasangan dengan Sandiaga Uno. Pasangan ini juga kalah dari pasangan Jokowi-Ma’ruf Amien.
Sebelumnya, berpasangan dengan Megawati pada pilpres 2009, Prabowo menjadi calon wapres. Pasangan ini kalah dari pasangan SBY-Boediono.
Bila Prabowo maju ke pilpres 2024, maka ini merupakan pencalonannya yang ke-4 sebagai pasangan capres-cawapres. Pada 17 Oktober kemarin, Prabowo genap berusia 70 tahun, dan bila jadi mencalonkan diri pada pilpres 2024, ia akan berusia hampir 73 tahun.
Pencalonannya nanti menjadi bukti kegigihan Prabowo untuk bisa menempati posisi RI-1.
Bila memang maju lagi, bagaimana kans Prabowo dalam pilpres 2024? Sejauh ini, dalam berbagai survei, namanya masih bertengger di posisi atas nama-nama yang kerap muncul dalam survei.
Sebutlah di antaranya Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Ridan Kamil, Muhaimin Iskandar, Airlangga Hartarto, serta Puan Maharani. Nama-nama kejutan belum lagi muncul dalam survei.
Walaupun kerap unggul dalam survei, Prabowo belum tentu terpilih. Di mata sebagian pendukungnya yang dulu antusias menyokong pencalonan Prabowo pada pilpres 2019, yang jumlahnya tak bisa diabaikan, Prabowo kini mungkin dianggap berbeda.
Bergabungnya Prabowo ke dalam kabinet Jokowi meninggalkan jejak kekecewaan di kalangan pendukungnya, karena pada pilpres yang lampau mereka sangat berharap Prabowo menang.
Ketika kalah dalam kontestasi, pendukung berharap Prabowo dapat menguatkan kekuatan pengimbang pemerintah. Kenyataannya tidak.
Prabowo, apapun alasannya, lebih suka bergabung dengan pemerintahan Jokowi. Rakyat tidak pernah tahu ada Sepakat apa di antara kedua capres 2019 itu.
Karena itulah, bagi mereka, Prabowo yang akan berlaga pada 2024 nanti bukanlah Prabowo yang mereka dukung pada 2019.
Sangat mungkin, Prabowo akan mencari dukungan dari basis lain yang mungkin berbeda dari yang dulu menjadi kekuatan pendukungnya.
Boleh jadi Prabowo akan mengajak Puan karena PDI-P memiliki basis massa yang memungkinkan partai ini memperoleh kursi terbanyak di DPR.
Popularitas Prabowo dalam survei bisa menjadi daya tawar untuk mengajak Puan yang dalam beberapa kali survei menempati posisi bawah.
Katakanlah, ini pengulangan sejarah setelah Prabowo pernah menjadi cawapres berpasangan dengan Megawati, walaupun kalah.
Agaknya begitu penting bagi Prabowo untuk bisa masuk ke Istana Presiden sebagai orang nomor satu Republik ini, sekalipun untuk itu ia harus berulang kali mencalonkan diri.
Jika ia memang kembali mencalonkan diri, apakah keunggulan dalam survei itu benar-benar akurat dalam menggambarkan kemungkinan Prabowo terpilih? Sebagian pendukung Prabowo yang dulu sangat antusias mungkin saja berpaling ke calon lain.
Itu dengan pengandaian apabila ada calon lain, karena faktor ambang batas presiden sangat membatasi kemunculan capres potensial lain di luar yang didukung partai politik dengan peroleh kursi parlemen yang besar.
Peluang pencalonan calon-calon potensial lainnya sangat bergantung kepada ‘kebaikan hati’ elite kekuasaan, dan ini yang berpotensi jadi rintangan bagi calon-calon yang sejak sekarang tidak memperoleh simpati dari elite, sekalipun mereka begitu populer di mata masyarakat; sebutlah di antaranya Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, dan Anies Baswedan.
Walhasil, sirkulasi kepemimpinan yang sehat sangat mungkin terhambat dan hanya berputar di lingkungan elite kekuasaan yang itu-itu juga.
Tidak mudah bagi calon potensial untuk menembus barikade ambang batas presiden tanpa restu elite kekuasaan, terlebih lagi bila elite itu sendiri begitu berminat mencalonkan dirinya sendiri. >>