Saminisme, Ajaran Filsafat Sederhana yang Diperlukan Hari Ini – Pilihan Editor

[ad_1]

Bila berkunjung ke Yogyakarta, jangan lupa mampir ke Masjid Jendral Sudirman pada Rabu malam. Sebab Fahrudddin Faiz, seorang dosen UIN Sunan Kalijaga, akan berdiri di balik mimbar dan berbicara mengenai filsafat di acara rutin yang biasa disebut Ngaji Filsafat.

Bahkan beberapa penerbit kembali menerbitkan buku-buku bertema filsafat. Semisal Basabasi, yang menerbitkan sembilan seri buku filsafat, Plato, Aristoteles, dan lain-lain, dan berakhir pada Rene Descartes. Ada pula Marjin Kiri, yang menerbitkan buku karya Amartya Zen yang berjudul “Kekerasan dan Identitas”, lalu karya Lorenzo Fioramonti yang berjudul “Problem Domestik Bruto”, dan lain-lain.

Fenomena ini membuat filsafat terdengar akrab di telinga masyarakat. Beberapa penulis artikel bahkan gemar mengutip kalimat dari para filsuf untuk menguatkan poin tulisannya.

Kita tahu, filsafat ialah ilmu yang mengantarkan kita pada kebijaksanaan. Sesuai dengan akar katanya yang berasal dari Yunani, yaitu philosophia, yang artinya pecinta kebijaksanaan. Dengan mempelajari filsafat, orang akan semakin peka terhadap peristiwa di sekitarnya, entah itu peristiwa politik, psikologi, moral, etika dan lain-lain. Dan biasanya, bila berbicara filsafat, orang akan merujuk pada para filsuf Yunani, India, China, Jerman, Rusia, Timur Tengah.

Namun sebenarnya, di tanah air kita pun pernah terlahir beberapa filsuf. Sebut saja, Ronggowarsito, Syekh Siti Jenar, Sunan Bonang, Ki Ageng Suryometaram, Hasyim Asyarie, Kiai Sholeh Darat, dan lain-lain. Ajaran para tokoh tersebut lebih dekat dengan masyarakat karena mereka terlahir di tanah air yang sama.

Bahkan hingga hari ini, ada sebuah kelompok yang masih melanggengkan ajaran filsafat yang terlahir dari kelompok mereka. Ajaran itu disebut Saminisme. Saat ini penganutnya tersebar di kawasan Blora, Jawa Tengah dan Bojonegoro, Jawa Timur.

Saminisme diajarkan oleh Samin Surosentiko. Dia lahir pada 1859 di Desa Ploso keghiren, Randublatung, Blora dengan nama asli Raden Kohar. Ayahnya adalah Raden Surowijoyo, priyayi rendahan dari Bojonegoro.

Sejak muda, Raden Kohar menjalani hidup sebagai petani. Suatu saat, dia membuang identitas priyayinya, mengganti namanya menjadi Samin karena menurutnya nama tersebut merakyat. Pergantian nama itu seiring dengan sifat bijak yang tumbuh pada dirinya, dan sering memberikan nasihat-nasihat pencerahan pada lingkungan sekitarnya.

Saminisme biasa disebut sikap persahabatan. Mereka tidak pernah menyebut diri mereka dengan istilah Samin. Mereka juga memiliki kitab suci yang disebut Serat Jamus Kalimasada. Kitab Suci terdiri dari beberapa kitab yaitu Serat Punjer, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-uri Pambudi, Serat Jati Sawit, dan Serat Lampahing Urip.

Beberapa orang sering menggunakan istilah Samin sebagai bahan lelucon. Ini berkaitan dengan sikapnya yang menolak membayar pajak pada masa kolonial Belanda. Pemerintah kolonial resah. Mereka lalu membangun citra bahwa istilah Samin adalah hal yang buruk.

Selain itu pada hari ini, para penganut Saminisme cenderung mengurung diri dan terlihat beda. Semisal kesehariannya, mereka selalu memakai pakaian serba hitam dengan celana selutut. Selain itu, mereka juga tidak bersekolah. Mereka juga melarang perdagangan, sebab di dalamnya terdapat unsur ketidakjujuran. Selain itu, mereka pantang menerima sumbangan berupa uang.

Namun, harus disadari bahwa Saminisme adalah ajaran yang baik. Ketika diterapkan dengan serius, itu akan membawa orang pada kebijaksanaan dan kedamaian. Misalnya, orang Samin tidak mendiskriminasi orang berdasarkan agamanya. Karena menurut mereka, hal terpenting dalam diri manusia adalah kebiasaannya dalam hidup. Mereka juga menahan diri dari melecehkan orang lain, dan mengambil milik orang lain.

Para penganut Saminisme juga membangun hubungan kekerabatan yang baik. Mereka memiliki tradisi ujung-ujung (saling berkunjung), terutama saat salah seorang keluarga mempunyai hajat.

Dan yang patut dicontoh pada hari-hari ini ialah pandangan para penganut Saminisme terhadap lingkungan. Mereka hanya memanfaatkan alam secukupnya, tidak pernah mengeksploitasi. Ini sesuai dengan pola hidup masyarakatnya yang sederhana dan apa adanya. Mereka bahkan menganggap tanah sebagai ibu, yang akan memberikan penghidupan bila dikelola sebaik-baiknya.



[ad_2]

Sumber Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »