Judul tulisan ini memang mirip judul makalah serius untuk ujian akhir atau presentasi di penataran. Mungkin ada yang bertanya-tanya: apa hubungan nilai-nilai Pancasila dengan usaha pertambangan? Jauh amat?!
Judul seperti makalah ini muncul karena dipantik oleh berita utama Koran Tempo edisi Selasa, 21 September 2021, ‘Tambang Ilegal di Sana-Sini’.
Dari berita tajuk utama itu, yang terbayang adalah kegembiraan sebagian orang karena sukses mengeksploitasi lahan-lahan yang luas, mengirim batubara dengan puluhan truk dan rangkaian kereta ke kapal-kapal angkut, hingga rasa girang melihat cuan yang berderet-deret antri memasuki rekening.
Terbayanglah pertanyaan: bagaimana penerapan nilai-nilai Pancasila ke dalam usaha pertambangan untuk meraih kesuksesan seperti itu? Apakah kegembiraan dan kegirangan serta kesejahteraan itu ikut dinikmati rakyat banyak sebagai manifestasi nilai-nilai kelima sila itu?
Topik ini lebih membingungkan daripada, misalnya, memberi hormat pada bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan — yang pasti akan dilakukan oleh semua warga negara tanpa pertanyaan lebih lanjut.
Pertanyaannya pasti berkembang, misalnya bagaimana menerapkan Pancasila di pertambangan mineral? Misalnya, penerapan kemanusiaan yang adil dan beradab kepada para penambang dan masyarakat di sekitar lokasi penambangan.
Rasanya topik semacam ini kok masih sepi dari pembahasan, baik di forum-forum resmi dan terhormat, seperti di gedung parlemen, maupun di ruang kuliah di kampus-kampus, apa lagi di warung kopi.
Barangkali dianggap aneh dan lucu, bagaimana mencari sambungannya?
Selama ini, banyak pejabat dan politisi yang gemar berbicara ihwal Pancasila manakala ada netizen dianggap tidak toleran—tapi kalau ada pejabat tertangkap korupsi, tak ada yang mengaitkannya dengan kelima sila.
Pembicaraan dengan topik dominan seperti toleransi cenderung membuat Pancasila itu seolah-olah demikian terbatas ruangnya, padahal ruang lingkupnya bisa menjangkau segi-segi kehidupan yang lebih luas, misalnya hidup bertetangga, cara berdagang di pasar, sampai ke topik tadi menambang mineral yang lokasinya dekat dengan masyarakat kurang mampu secara ekonomi sosial; bagaimana agar kegiatan penambangan seiring dengan nilai-nilai Pancasila?
Nah, BPIP dan para ahli di dalamnya dapat merumuskan hingga sampai ke petunjuk praktis bagi pengusaha tambang. Barangkali sampai pembuatan SOP-nya dan diadakan bengkel-nya.
Atau juga korupsi, sebagai contoh lain: apakah korupsi itu tindakan yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila? Bila tidak sejalan, mengapa banyak pejabat yang melakukannya?
Apakah para pejabat umumnya belum memahami bahwa sebenarnya keduanya tidak sejalan? Masak iya sih?
Coba kita bandingkan praktik korupsi dengan kelima sila, akan terlihat bahwa korupsi terjadi sebab pelakunya mungkin kurang percaya bahwa Tuhan mengetahui, mungkin ia tidak paham bahwa korupsi itu tidak berperikemanusiaan—misalnya saja menyunat bantuan sosial itu dianggap wajar-wajar saja, tidak percaya bahwa korupsi itu membahayakan persatuan sebab bisa memicu pro dan kontra, tidak percaya bahwa korupsinya merupakan praktik yang tidak adil sebab merugikan rakyat kecil.
Jika begitu, ada baiknya BPIP, misalnya, membuat sosialisasi, penataran, dan penyuluhan untuk calon pejabat bahwa korupsi tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila?
Lalu diadakan tes wawasan kebangsaan bagi politisi yang akan dilantik jadi anggota DPR, bupati, walikota, bahkan menteri. Kalau tidak lulus tes, ditatar dulu; lalu dites lagi, bila tetap tidak lulus, pelantikannya dibatalkan.
Beberapa tahun yang lampau, ketika sebagian akademisi berpikir tentang ekonomi Pancasila, sebagian ekonom lainnya mungkin tertawa: di zaman serba kapitalistik seperti sekarang mau menolak prinsip kapitalisme dalam ekonomi?
Pak Emil Salim memakai istilah ekonomi Pancasila pada tahun 1967, lalu Pak Mubyarto memikirkannya lebih intensif, juga sejumlah ekonom lain, termasuk Pak Dawam Rahardjo.
Mereka berpikir tentang ekonomi berkeadilan agar eluruh rakyat bisa ikut menikmati hasil setiap usaha perekonomian, termasuk penambangan sumberdaya mineral. Sayangnya, ekonom dari generasi yang lebih muda kurang tertarik.
Kembali ke soal usaha pertambangan, apakah para penambang mineral itu memikirkan penerapan nilai-nilai Pancasila dalam usaha mereka?
Misalnya, apakah mereka berpikir tentang pemerataan hasil ekonomi dari penambangan agar rakyat banyak dapat ikut menikmatinya meski tidak ikut menambang?
Apakah mereka sekedar berpikir: kami sudah membayar pajak, pemerataan bukan urusan kami. Apakah kemakmuran yang dinikmati perusahaan penambang terdistribusi pula kepada rakyat banyak?
Lalu, apakah penambangan ini memperhatikan benar prinsip-prinsip perlindungan lingkungan demi kepentingan jangka panjang—agar anak cucu tidak menerima warisan bumi yang rusak karena eksploitasi yang tidak disertai prinsip kehati-hatian dan pemulihan?
Apakah para penambang hanya berpikir tentang cuan, serta para pejabat negara hanya berpikir ihwal ekspor batubara.
Bagaimana dengan lubang-lubang menganga di lahan-lahan itu; akankah lubang-lubang itu dibiarkan menjadi wadah raksasa penampung air hujan?
Apakah pembiaran lubang-lubang itu tidak bertentangan dengan sila pertama karena tidak mensyukuri nikmat dari Tuhan?
Banyak pertanyaan lain yang dapat diajukan, namun intinya ialah apakah praktik penambangan mineral ini bertumpu pada nilai-nilai Pancasila, atau, bagaimana menerapkan nilai-nilai Pancasila ke dalam usaha penambangan?
Mungkin ada yang tertawa dan menganggapnya menggelikan, sebab selama ini hanya isu-isu seperti intoleransi yang dianggap seksi untuk dibicarakan.
Padahal, sungguh loh, hubungan antara penerapan nilai-nilai Pancasila dan usaha pertambangan itu patut digali sedalam-dalamnya [bukan cuma lahan tambang] demi kesejahteraan rakyat banyak dan kelestarian lingkungan jangka panjang. Para punggawa, staf ahli, dan dewan pengarah BPIP mestinya dapat memetakan relasi ini dan memberi penyuluhan kepada para pebisnis tambang agar praktik bisnis mereka selaras dengan nilai-nilai kelima sila. >>