[ad_1]
Sejatinya, insiden perilaku pemain sepak bola yang cenderung kasar dan brutal, sudah terjadi di berbagai belahan bumi ini baik dalam pertandingan lokal, domestik, mau pun internasional pada klub juga timnas.
Namun, khusus dalam sepak bola di Indonesia, kejadian permainan yang bisa dibilang kategori brutal (kejam, kurang ajar) memang seolah menjadi tradisi. Bahkan kebrutalan para pemain sepak bola, dapat terjadi antar sesama pemain atau pemain kepada wasit, hingga pemain ke suporter, suporter ke suporter, serta antar suporter.
Ironi di saat sepak bola baru bangkit
Sayangnya, tatkala sepak bola nasional yang terpuruk prestasinya sejak sebelum dan di saat pandemi corona, bahkan kompetisi sepak bola nasional juga baru direstui oleh seluruh stakeholder di Indonesia untukbergulir, yaitu BRI Liga 1 juga baru memainkan pekan perdana. Ini malah ada aksi brutal pemain dalam ajang laga yang sekadar persahabatan, uji coba.
Meski tim yang bertanding berbeda kasta, namun pertandingan persahabatan, harus berlangsung sesuai dengan judul persahabatan. Tapi entah atas dasar apa? Mungkin hanya gengsi atau yang lainnya, pertandingan persahabatan justru berlangsung dengan tensi tinggi. Padahal kedua tim baru saja bertemu. Mustahil ada bau dendam dan sebagainya.
Kejadian laga sepak bola brutal pun tak pelak mendapat sorotan dari semua pihak di Indonesia. Media massa, media sosial, hingga stakeholder terkait pun ramai memberitakan, membicarakan, dan prihatin atas insiden dalam laga antara AHHA PS Pati Atas Persiraja hingga videonya viral.
Dalam berbagai berita, PSSI, PT LIB, APPI, dan stakeholder lainnya sudah langsung turun tangan atas kejadian ini. Begitu pun dari pihak klub yang bertanding.
Kecerdasan otak dan emosi
Tapi, atas kejadian ini, berbagai pihak juga wajib waspada atas sikap dan perilaku para pemain yang lost control di lapangan. Sebab, bukan mustahil, peristiwa serupa akan terulang dan terjadi pada kompetisi resmi Liga1, Liga 2, Liga 3 dan turunannya.
Bila dalam situasi corona, dunia pendidikan Indonesia tambah terpuruk karena pembelajaran harus dilakukan secara daring. Lalu, para siswa/mahasiswa terdampak hingga lost learning, sepak bola nasional yang sudah lama libur pun jangan sampai membikin para pemain lost control.
Latar belakang hingga para pemain kehilangan kendali, yang pada dasarnya dari kecerdasan intelektual (otak) dan kecerdasan kepribadian (emosional/mental) yang sudah lama tidak diasah, ditambah tekanan sosial dan ekonomi akibat pandemi.corona, juga bukan sesuatu yang diabaikan.
Terlebih sudah bukan barang baru, bahwa banyak pesepak bola di Indonesia, yang dapat memperkuat klub, dasar kompetensiya hanya dari segi teknik dan speed (fisik) pemain. Sehingga, sangat digaransi, para pesepak bola yang miskin kecerdasan otak dan emosi, akan sangat mudah tak dapat mengendalikan dirinya di lapangan.
Mirisnya lagi, para oknum pesepak bola yang tak mumpuni dalam kecerdasan otak dan emosi ini, juga tak memikirkan nasib dirinya sendiri bila melakukan tindakan brutal yang dasarnya tak cerdas otak dan emosi. Selain merugikan dan bisa menciderai pemain lain/lawan, juga dapat menghentikan karir dirinya sendiri yang juga sama-sama mencari nafkah dari sepak bola.
Untuk itu, bila selama ini saya selalu mewanti-wanti kepada PSSI, kepada pegiat dan pelaku sepak bola akar rumput, agar terus memikirkan pendidikan dan pembinaan karakter pesepak bola yang benar, yaitu pesepak bola itu bukan hanya persolan teknik dan speed. Tetapi pondasi karakter pesepak bola adalah intelegensi (otak) dan personaliti (emosi/mental). Bila digabung menjadi akronim TIPS, yaitu teknik, intelegensi, personaliti, dan speed yang wajib dimiliki lengkap oleh setiap pemain.
PPKGB dapat ditiru
Rasanya, meski saya sudah berbuih membahas hal intelegensi dan personaliti pemain ini baik di berbagai artikel yang saya tulis maupun di berbagai ruang diskusi sepak bola, nyatanya persoalan intelegensi dan personaliti pemain sepak bola ini, terus jauh panggang dari api penangannya oleh PSSI, Klub, dan stakeholder terkait.
Masalah intelegensi dan personaliti pemain ini, juga setali tiga uang dengan masalah intelegensi dan personaliti suporter, yang juga tak tersentuh dan tak tertangani dengan benar oleh PSSI.
Padahal, terkait suporter yang rusuh dan brutal, pihak Pusat Pengelola Komplek Gelora Bung Karno (PPKGB) di bawah Sekretariat Negara, sangat serius mengambil tindakan penanganan dan antisipasi. Tindakan PPKGB sangat serius tatkala Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), dilanda rusuh suporter usai direnovasi.
Saat itu, secara khusus, PPKGB pun mengundang saya sebagai nara sumber untuk mengatasi persoalan rusuh suporter dan antisipasinya. Bahkan atas atensi dan sikap PPKGB ini, saya sampai membuat acuan penanganan suporter ini dalam bentuk Program Edukasi Suporter Sepak Bola Indonesia (PESSI).
Alhamdulillah, yang saya tawarkan dalam PESSI pun diakomodir dan diaplikasian oleh PPKGB khususnya dalam mencegah kerusuhan suporter berikutnya di SUGBK dan berhasil.
Sayang, PESSI yang sudah saya buat dalam bentuk Buku Panduan, programnya tak dilanjutkan sampai tuntas oleh PPKGBK, alasannya urusan suporter itu kewajiban PSSI.
Kini PESSI yang saya buat dan ditawarkan ke PPKGBK demi membikin suporter sepak bola nasional cerdas intelegensi dan personaliti pun justru tersimpan di perpustakaan saya di rumah karena yang bertanggungjawab menjalankan PESSI adalah PSSI.
Kembali ke masalah intelegensi dan personaliti pemain, saya tahu, PSSI juga sudah menjalin kerjasama dengan beberapa Universitas Negeri di Indonesia, semoga saja ada program sekelas PESSI untuk pemain sepak bola Indonesia. Karana menangani intelegensi dan personaliti itu memang harus oleh ahlinya secara akademis dan ilmiah.
Namun, bila program itu ditawarkan kepada saya, maka akan saya buat Buku Panduan Program Edukasi Pemain Sepak Bola Indonesia (PEPSI). PEPSI pun dapat menggaransi pemain sepak bola Indonesia memiliki kompetensi dan kecerdasan intelegensi dan personaliti.
Ingat, menjadi pesepak bola adalah pekerjaan dan banyak yang sudah menjadikan profesi dan gantungan hidup mencari nafkah. Jadi, pesepak bola pun wajib memiliki standar kompetensi layaknya profesi pekerjaan lain.
Pesepak bola juga seharusnya lulus kompetensi Pedagogik, Kepribadian, Prefesional, dan Sosial. Bila saya dipercaya oleh PSSI untuk meramu panduan PEPSI, maka ujungnya Timnas Sepak bola Indonesia akan berisi kumpulan pemain yang lulus standar TIPS pemain, karena para pemain juga lulus dalam kompetensi pedagogi, kepribadian, profesional, dan sosial.
Dalam sepak bola internasional, saya sudah menulis, keberhasilan Roberto Mancini (RM) menjadikan Italia jawara Euro 2020, adalah karena RM adalah pelatih pedagogik. Kata lainnya, RM pun kompeten dalam kepribadian, profesionalisme dan sosial.
Oleh karena itu, agar tak terulang insiden pemain brutal, menyikapi dan membahasnya jangan hanya instan dan temporer klausul, juga bukan narasi dan narasi. Wajib ada wujud programnya.
Ayo PSSI, mau program PESSI untuk suporter? Juga program PEPSI untuk pemain? Sepak bola sudah bisnis, profesi, profesional, harus ditangani sumber daya manusianya (SDM) pelatih, pemain dan suporter secara benar dan akademis.
[ad_2]
Sumber Berita