[ad_1]
Organisasi Tamalaki Sarano Tolaki (TST) yang berada di Jazirah Provinsi Sulawesi Tenggara Sultra), Minggu 10 Oktober, telah menggelar diskusi tentang penerapan nilai-nilai Hukum Adat Tolaki dalam bingkai masyarakat Sultra secara khusus. Hadir sebagai pembicara utama adalah Dr Guswan Hakim, S.H., M.H, salah seorang pakar hukum adat yang juga akademisi pada Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo (FH UHO). Pada kesempatan diskusi tersebut, Guswan Hakim menjelaskan bahwa Hukum Adat sebagai perekat nilai-nilai yang mempersatukan masyarakat adat Tolaki terwujud secara simbolik dengan penisbatan Kalosara.
Simbol Kalosara kata Guswan Hakim bermakna persatuan dan kesatuan serta kesejahteraan bagi Masyarakat Tolaki di Sultra. Eksistensinya juga merupakan nilai-nilai hukum adat baik secara materil maupun formil yang mengikat Masyarakat Tolaki tersebut. Guswan Hakim yang saat ini juga menjabat sebagai Ketua Unit Jaminan Mutu FH UHO secara gamblang memberikan pencerahan bahwa hakekat hukum adat Tolaki secara materil mencakup semua aspek yaitu Hukum pidana adat, hukum perdata adat dan hukum tatanegara adat. Meskipun Hukum Adat Tolaki tidak tertulis, tetapi sebagai nilai-nilai hukum. Ia tetap mengejawentah dalam kesadaran hukum masyarakat Tolaki.
Menurut pria yang pernah mengenyam pendidikan doktor hukum di Fakultas Hukum Universitas Airlangga tersebut, menguraikan tentang seputar reaksi masyarakat adat Tolaki apabila salah seorang anggota masyarakat adat yang kedapatan melakukan perbuatan melanggar hukum adat. Ini menunjukkan bahwa kesadaran hukum adat tetap berkelanjutan hingga kini.
Menurut Guswan Hakim, mayoritas masyarakat adat Tolaki memeluk agama Islam, sehingga wajar pula kesadaran hukum mereka mengadopsi nilai-nilai yang bersumber dari syariat Islam. “Bahkan dalam hubungan antara hukum adat dan hukum Islam dijelaskan dalam peribahasa berikut: adat bersendikan syara, syara bersendikan al-Quran”.
Penyelesaian sengketa hukum melalui mekanisme hukum Adat, untuk saat ini di Sultra dijalankan oleh Lembaga adat Tolaki secara formil. Cara para pihak yang bersengketa menyerahkan permasalahannya untuk diselesaikan oleh lembaga adat Tolaki. Lembaga ini lalu berperan menjadi mediator antara pihak yang bersengketa.
Prinsip hukum adat Tolaki dalam penyelesaian sengketa yaitu inae Konasara iye pinesara inae lia sara iye pinekasarai. Maknanya, kalau seseorang yang melakukan pelanggaran hukum adat lantas ia menyadari kesalahan itu dengan meminta maaf dan siap menerima sanksi hukum adat maka orang tersebut pantas mendapatkan penghargaan (konasara). Alasannya kata Guswan, orang itu tidak mempersulit proses penyelesaikan sengketa dan biasanya denda adatnya di peringan. Sebaliknya, ujar Guswan seseorang, pelanggar hukum adat yang bersikap acuh tak acuh terhadap pelanggaran yang diperbuatnya bahkan telah di mediasi oleh lembaga adat tetapi yang bersangkutan tetap bertahan tidak mau menyelesaikan perkaranya menurut hukum adat Tolaki, tentu saja orang tersebut tidak pantas mendapatkan penghargaan (ya sara) untuk itu harus dilakukan proses penegakan hukum (pinekasarai).
[ad_2]
Sumber Berita