[ad_1]
Di masa pandemi seperti ini, Pak, tidak mudah bagi kami untuk mempertahankan penghasilan agar dapat bertahan hidup. Sebuah pekerjaan yang secara alami tetap tidak tetap. Pekerjaan yang semula tidak pasti semakin tidak menentu. Lulus, bahkan sering kurang. Tapi, dilarang bagi kita untuk mengeluh. Kami terus berjuang semampu kami, karena kami percaya setiap makhluk hidup memiliki rezekinya masing-masing.
Jika ada yang bilang ekonomi sudah berjalan, itu memang benar. Lihatlah, Tuan, semakin banyak lapak-lapak di pinggir jalan. Saudara-saudara kami yang biasanya tidak berjualan, kini mereka menggelar lapak: gorengan, baso aci, nasi kuning, ya apa saja yang kira-kira bisa diubah jadi uang. Begitulah cara kami menjalankan roda ekonomi, meskipun sering seret karena kurang pelumas.
Lapak di dekat kediaman kami tumbuh tiga kali lipat dibanding sebelum wabah tiba. Ramai warga berjualan, makanan terutama. Kadang-kadang kami berpikir, kalau semakin banyak yang berjualan, lantas siapa yang jadi pembeli? Jika warga sama-sama susah, siapa yang akan membeli? Tapi kami tidak ingin terganggu oleh pikiran-pikiran yang melemahkan semangat, sebab ini akan menambah beban mental.
Kami percaya bahwa jika kami berusaha, rezeki akan datang, bahkan seringkali dari arah yang tidak terduga-duga, bahkan kadang bukan dari lapak kami. Contohnya, kami tidak menduga Tuan berbagi sembako kepada kami. Di tepi jalan yang akan Tuan lalui, kami diberitahu agar berdiri berjajar. Alih-alih berjajar, kami malah cenderung berjubel menyambut Tuan lewat. Kami tahu tentang prokes, tapi sembako yang akan Tuan bagikan itu terasa lebih penting dan mendesak untuk membuat dapur kami mengepulkan asap.
Kami menyangka Tuan akan mampir. Mobil bagus Tuan akan berhenti, lalu Tuan menyapa kami, ngobrol barang sebentar sambil minum kopi yang sudah kami siapkan. Ternyata tidak begitu. Tuan tetap di kursi empuk dalam mobil yang melaju, lalu membuka jendela mobil, dan Tuan lemparkan bungkusan-bungkusan ke arah kami. Wah, lumayan besar rupanya! Jadilah kami berebut, saling bersenggolan, pokoknya mengerahkan segenap usaha untuk bisa mendapatkan bingkisan sembako dari Tuan.
Kami menduga, Tuan sangat sibuk sehingga tidak sempat mampir, turun dari mobil, dan ngobrol-ngobrol dikit tentang kehidupan. Tuan tetap melaju, walau mobil Tuan dalam kecepatan rendah. Saking akrabnya kita, Tuan tidak ragu-ragu untuk melempar bungkusan sembako ke arah kami, dan kami berebutan, malah ada yang sampai terjatuh ke parit. Semua diliputi kegembiraan demi sebungkus sembako. Begitulah cara Tuan menunjukkan kedermawanan Tuan kepada kami.
Kami berebutan sembako tanpa peduli jarak, dan Tuan terlihat gembira menyaksikan polah tingkah kami. Sambil tersenyum lebar, Tuan terus melemparkan bungkusan dan bingkisan sembako lagi dari dalam mobil bagus yang Tuan tumpangi. Setiap kali Tuan melempar sembako, kami berteriak senang dan memperebutkannya, dan Tuan tampak gembira. Kami senang melihat Tuan gembira. Inilah pertanda keakraban Tuan, orang besar, dengan kami, orang kecil.
Lain kali, bila Tuan ada cukup waktu—kabarnya Tuan bisa menerima tamu penting beberapa jam, silakan Tuan mampir ke kediaman kami. Untuk kami, tak perlu beberapa jam. Cukup beberapa menit saja. Walaupun mungkin tidak begitu layak untuk menerima kedatangan Tuan, tapi itu kediaman kami, tempat kami hidup dan membesarkan anak-anak, tempat kami tidur, makan, dan bercengkerama sembari menduga-duga kapan wabah ini berakhir. Kami akan menjamu Tuan dengan secangkir teh tawar serta secawan singkong rebus.
Silakan Tuan mampir lain kali, jika sempat, ada waktu, di tengah kesibukan Tuan yang luar biasa. Jikalaupun tak sempat mampir, sudilah memberi tahu kapan Tuan akan lewat dan di jalan mana, biar kami berkumpul lagi di pinggir jalan. Kami selalu menunggu lemparan bungkusan dan bingkisan sembako Tuan dari balik jendela yang Tuan tumpangi. Lumayan, kami bisa sedikit menghemat pengeluaran kami yang kadang membuat minus saku kami.
Kami akan senang menerima lemparan sembako lagi walaupun harus berebutan, bersenggolan, bahkan terjatuh dan masuk parit. Percayalah, bagi kami, pengalaman seperti ini tak akan terlupakan seumur hidup, Tuan. Lemparan sembako itu bukti kedermawanan hati Tuan. Di tengah kesulitan hidup yang kami hadapi, kami senang menyaksikan Tuan begitu gembira saat melempar kantong-kantong sembako ke arah kami. Mungkin begitulah cara Tuan menghibur diri. Sering-seringlah Tuan melempar sembako kepada kami dan bergembiralah bersama kami! >>
[ad_2]
Sumber Berita