[ad_1]
Pemberian amnesti kepada dr. Saiful Mahdi, dosen Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala, merupakan pelaksanaan tugas kepala negara untuk meluruskan yang bengkok. Saiful divonis penjara berdasarkan UU ITE atas tuduhan pencemaran nama baik. Ikhtiarnya mencari keadilan sampai Mahkamah Agung tersandung, sehingga tergantung Presiden sebagai kepala negara yang berwenang memberikan amnesti.
Bermula dari kritiknya di sebuah grup WA, pimpinan Fakultas Teknik Unsyiah melaporkan Saiful ke polisi, sehingga ia dijerat dengan pasal 27 ayat 3 UU No 19 tahun 2016. Permintaan amnesti Saiful dikabulkan Presiden, dan kemudian disetujui DPR. Bila surat keputusan amnesti nanti keluar, Saiful akan dibebaskan dari penjara. Betapapun, pembebasan ini masih menyisakan persoalan.
Pertama, apakah dengan mengajukan amnesti dapat diartikan bahwa Saiful Mahdi mengakui bahwa ia bersalah dalam perkara yang dilaporkan oleh pimpinan Fakultas Teknik Unsyiah? Ataukah pemberian amnesti dapat dipandang sebagai jalan keluar bagi seseorang yang merasa tidak memperoleh keadilan melalui jalur peradilan? Para petinggi kampus mungkin akan melihat permintaan amnesti merupakan wujud pengakuan bersalah, sedangkan para pembela Saiful memandangnya sebagai cara memperbaiki kerusakan agar orang yang tidak bersalah terpaksa mendekam di dalam penjara.
Pemberian amnesti bukanlah bentuk kedermawanan, melainkan wujud tanggung jawab kepala negara untuk melindungi rakyat yang gagal memperoleh keadilan melalui institusi yudikatif. Betapapun kepala negara dan DPR, yang ikut memproses permintaan amnesti, memiliki pandangan sendiri mengenai kasus Saiful yang mungkin saja berbeda dengan pandangan para hakim. Bahwa kemudian ada keuntungan politis yang diperoleh, juga tidak tertutup kemungkinan seperti itu, sebab pemberian amnesti mengesankan bahwa kepala negara serta parlemen melindungi akademisi.
Kedua, terdapat persoalan yang lebih mendasar terkait masa depan kebebasan akademik di lingkungan kampus. Akankah kritik terhadap kebijakan pimpinan kampus secara terbuka akan tetap dilaporkan ke polisi dan dianggap sebagai pencemaran nama baik yang dapat dijerat dengan pasal-pasal karet? Apabila hal semacam ini tetap terjadi kelak kemudian hari, akademisi dipaksa untuk berhati-hati dalam melontarkan kritik kepada pimpinan perguruan tinggi tempatnya bekerja dan berkarya.
Pejabat perguruan tinggi, yang sedang memegang jabatan tertentu—rektor, wakil rektor, dekan, seharusnya terbuka terhadap kritik. Tak lain karena ia memiliki wewenang untuk menentukan kebijakan yang memengaruhi kehidupan perguruan tinggi maupun insan akademik yang berkarya di dalamnya. Sebagai ilmuwan dan akademisi, rektor maupun dekan adalah kolega dengan ilmuwan dan akademisi lain yang hanya menjadi pengajar maupun peneliti. Namun, sebagai rektor, ia adalah pejabat dalam lingkup kampusnya, sehingga kebijakan yang ia putuskan tidak bebas dari kritik. Kritik ini, yang mungkin berasal dari dosen maupun mahasiswa, tidak layak direspons dengan pelaporan kepada polisi.
Di beberapa kampus terdapat kecenderungan pejabat kampus bersikap layaknya pejabat publik dalam menanggapi kritik internal dan mengabaikan identitasnya sebagai akademisi yang mengandalkan kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Kritik dari akademisi lain harus ditanggapi bukan dengan bahasa otoritas, tetapi dengan jawaban yang dilandasi nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kejujuran yang dijunjung tinggi oleh akademisi.
Walhasil, sekalipun Saiful Mahdi memperoleh amnesti dari Presiden Jokowi selaku kepala negara, namun tidak berarti kebebasan akademik untuk mengemukakan pendapat yang berbeda demi menemukan kebenaran dan keadilan akan serta merta terjamin. Para akademisi dan mahasiswa perlu terus memperjuangkan agar kebebasan akademis ini tidak semakin terbelenggu oleh kekuasaan, termasuk kekuasaan para pejabat perguruan tinggi yang notabene mereka juga akademisi. Sayangnya, kekuasaan memang menggoda akademisi untuk sanggup mengingkari nilai-nilai yang sebelumnya mereka junjung tinggi. >>
[ad_2]
Sumber Berita