Punya Anak itu Berat Jika Salah Orientasi – Analisis

[ad_1]

Sosok anak bisa jadi momok menakutkan bagi para menganut Bebas anak atau penantian ;betah melajang saat ini. Tidak mau punya anak jikalau nantinya anaknya akan sepertinya yang memiliki trauma masa kecil ataupun khawatir menjadi orang tua beracun jika menjadi orang tua.

Banyak alasan punya anak itu berat dari menurunnya quality time pasangan, faktor finansial, ketidaksiapan emosional dan lain-lain.

Secara faktanya, mempunyai anak membuat kualitas waktu berdua terganggu .Biasanya beberapa pasangan ketika punya anak merasakan ada perubahan kualitas untuk menikmati waktu berdua. Kadang tangisan atau permintaan anak membuat suasana romantis menjadi buyar. Apalagi jika semua pekerjaan rumah dikerjakan sendiri.

Belum lagi masalah finansial. Kekhawatiran finansial, bagi Pasangan yang menikah  memilih untuk belum mau punya anak didasari oleh faktor ekonomi. Mereka ingin membangun rumah tangga yang stabil dari segi finansial terlebih dahulu barulah program untuk punya anak. Terlebih jika pasangan tersebut lebih mementingkan karir,  fokus pada impiannya dan memiliki tabungan yang cukup untuk pendidikan anaknya kelak.

Di benaknya terlintas mau kasih makan apa jikalau hidup masih pas-pasan. Apalagi kebutuhan anak bukan hanya makan tapi butuh juga pakaian, mainan, rumah yang nyaman, hiburan, jalan-jalan, belum lagi jikalau anak sakit, ditambah biaya sekolah berkualitas yang tak murah di zaman sekarang.  Ini bisa membuat pasangan yang menikah menunda punya anak bahkan enggan punya anak.

Ditambah secara emosi dan mental  belum siap. Menjadi orang tua zaman sekarang tak bisa terhindar tingkat stress tertentu. Berdasarkan data NICHD Study of Early Child Care and Youth Development (SECCYD), menjadi orangtua berarti kita harus memfokuskan pada aspek kesehatan mental, menangani konflik antara pekerjaan dan keluarga, terlibat dalam perkembangan anak di sekolah, dan sensitivitas lain mengenai parenting. Jika tingkat emosi orang tua belum siap, ini akan sangat berpengaruh pada perkembangan intelejensi dan kognitif anak. Maka memilih untuk tidak memiliki anak mungkin  menjadi landasan menunda atau enggan punya anak.

Memang menjadi orang tua bukanlah hal yang mudah, atau bukan hal yang bisa dilakukan dengan asal-asalan. Banyak yang perlu dipersiapkan dan diperhatikan. Namun sadarkah kita bahwa anak  adalah pemberian dari Sang Maha Daya Cinta?

Anak adalah anugerah Allah SWT kepada manusia. Tuhan menciptakan apa saja yang Dia kehendaki dan memberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki.

Allah SWT berfirman yang artinya: Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi. Dia menciptakan apapun yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan Dia memberikan kepada siapa yang Dia kehendaki anak laki-laki. Atau (Dia memberikan kepada siapa yang Dia kehendaki) anak laki-laki dan perempuan. Dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui, Maha Kuasa (TQS. Asy-Syuura: 49-50)

Ayat ini menunjukkan bahwa anak adalah kehendak Allah SWT. Allah SWT bisa memberikan anak perempuan saja, laki-laki saja, atau keduanya bahkan tidak berikan anak sama sekali. Anak adalah pemberian Sang Pencipta bagi kita agar hidup kita bermakna. Allah SWT menitipkan anak-anak dalam tanggung jawab kita agar kita dapat mengembangkan dan memberikan kasih sayang dan perhatian kita kepada buah hati.

Seharusnya ketika kita diberikan kepercayaan oleh Sang Maha Daya Cinta membuat kita bahagia dan bangga. Karena yang memberikan kepercayaan adalah Allah SWT. Bayangkan jikalau yang memberikan kepercayaan atau amanah adalah kepala negara atau pejabat pasti kita senang dan bangga bukan main.  Ada hikmah diberikan anak yaitu memanfaatkan waktu dengan aktivitas mengurus, mengasuh dan mendidik anak. Sehingga waktu pun tak terbuang sia-sia karena banyak yang harus diurus dan itupun mendapatkan pujian dan pahala dari Allah SWT. Memang lelah namun kebahagiaan yang akan diraih jauh lebih besar.

Anak benar-benar amanah dari Allah SWT, anugrah yang luar biasa. Padahal, anak adalah milik Allah SWT. Kita hanya dipercayakan untuk memelihara dan membesarkan mereka. Di tangan kita tanggung jawab diberikan. Mereka seperti tunas yang diserahkan kepada kita untuk tumbuh dan berkembang. Bagaimana jadinya anak-anak ini, itulah tanggung jawab kita sebagai orang yang dititipkan. Tanggung jawab itu akan menjadi tanggung jawab kita nanti di hadapan Pemilik kehidupan.

Dari Abi Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: “Setiap anak dilahirkan dalam fitrah kecuali orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR.Bukhori Muslim)

Namun kini di zaman yang serba dihitung dengan kepuasan materi. Maka memiliki anak menjadi beban Orang biasa, akan perhitungan untung-rugi memiliki anak. Jika ada keuntungan dan manfaat maka ia akan melakukannya. Namun jika banyak kerugian, membuat stress bahkan beban maka ia enggan melakukannya.

Inilah corak yang dimiliki kalangan milenial dan sebagian kalangan kolonial di peradaban Kapitalisme liberal. Kepuasan materi sangat dipuja. Kesuksesan hanya di nilai dari bergelimang harta, tahta,  prestisius dan kesenangan. Memisahkan agama dari kehidupan menjadi landasannya. Peran Sang pencipta dinafikan dan merasa aturan manusia adalah aturan yang paling terbaik. Sehingga memiliki anakpun menjadi beban bukan membuatnya bahagia.

Kesalahan orientasi hidup inilah yang menyebabkan segalanya berakhir pada kebingungan. Pro kontra standar nilai menjadi berkembang. Lihat saja ketika ada orang yang memiliki banyak anak, ada yang melotot keheranan tapi ada juga yang takjub bisa memiliki banyak anak. Para bidan pun kesal kenapa lagi-lagi si ibu hamil dan melahirkan. Padahal yang mengandung bukan si bidan. Begitu penganut Childfree dan waithood yang masih dinilai tabu di tengah masyarakat.

Berat punya anak ini tidak dirasakan oleh pasangan asal India, Daljinder Kaur (73 tahun) dan Mohinder Singh Gill (80 tahun). Ibu ini melahirkan anak saat 72 tahun. Fisik yang tidak sebugar ibu muda memang dirasakan Kaur, tapi hal ini tidak membuatnya menyesal memiliki Armaan. Yang Kaur lakukan sekarang adalah menjaga kesehatan dirinya dan Arman. Bayi mungil tersebut lahir dalam kondisi amat kecil, yakni hanya 1,7 kg. Kini, saat usianya hampir satu tahun beratnya 6 kg.

Bagi Kaur dan suaminya, Mohinder Singh Gill, kehadiran Armaan adalah sesuatu yang telah mereka nantikan selama 46 tahun. Armaan hadir dalam kehidupan Kaur dan Singh melalui program bayi tabung.

Lalu, bagaimana bila Kaur dan suaminya meninggal padahal Armaan masih kecil? Gill tidak membuat hal ini menjadi sesuatu yang menyeramkan, semua diserahkan pada Tuhan.

“Saya punya keyakinan penuh pada Tuhan. Tuhan itu Maha Kuasa dan ada Dia dimana-mana, Ia akan membantu melancarkan segalanya,” kata Gill penuh keyakinan saat diwawancarai oleh seorang wartawan.

Dari fakta di atas menunjukkan bahwa anak bukanlah beban. Padahal, pasangan asal India ini percaya akan campur tangan Tuhan dalam melancarkan segalanya, termasuk membesarkan anak. Tuhan Mahakuasa dan di mana-mana, Siapa Dia? Siapa lagi selain Allah SWT Sang Pencipta Yang Maha Kuasa.

Allah SWT Yang menciptakan manusia berikut dengan Rizkinya. Dia adalah Pemberi Rizki yang terbaik. Jangan sampai kita merasa bahwa kita memberikan rezeki untuk anak-anak kita tanpa campur tangan Allah SWT disana. Bukankah itu sifat sombong yang mengirim kita ke kehancuran seperti iblis?.

Allah SWT berfirman yang artinya:
Katakanlah: “Siapa yang memberimu rezeki dari langit dan bumi?” Katakan: “Allah” (TQS. Saba’: 24)

Bukankah anak-anak akan menjadi investasi kita di akhirat? Ketika kita telah kembali ke Rahmatullah, siapa yang akan meminta pengampunan atas dosa-dosa kita? Siapa yang akan mengalirkan pahala dan pencerahan di alam barzah? Bukankah hidup kita tidak selamanya di dunia? Tidak bisakah seorang anak menjadi syafaat orang tuanya di Yaumil terakhir?

Nabi (damai dan berkah Allah besertanya) mengatakan:
Sesungguhnya Allah mengangkat derajat seorang hamba yang shaleh di surga, lalu dia berkata: Ya Tuhanku, dari mana aku mendapatkan semua ini? Kemudian Allah menjawab: Karena istighfar anakmu untuk dirimu sendiri. (HR.Ahmad)
Akhir Kalam
Ketika menanggung kesusahan dalam membesarkan anak-anak kita harusnya bukan menjadi beban. Namun sebaliknya menyadari bahwa kita adalah makhluk yang lemah dan terbatas. Butuh Sang Maha Kekal lagi Maha Perkasa. Selalu bersandar pada Yang Maha Kuat. Selalu bertawakal dan ikhlas menjalani kehidupan. Sehingga yang akan diraih adalah Ridho Allah SWT.

Berbahagialah kita yang telah dikaruniai anak dan yang belum bersiaplah untuk menyambut datangnya amanah dari Sang Maha Daya Cinta. Anak itu bukanlah beban karena mereka tidak pernah memilih untuk dilahirkan dari rahim siapa.



[ad_2]

Sumber Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »