Meraih Kebahagiaan Hakiki
Ada seorang kaya, konglomerat yang dulu kurang bergaul akrab dengan Tuhan. Ada momen, memposting dirinya sedang berdoa, mengucap syukur, dalam media sosialnya.
Pria hebat yang sempat tak bisa tidur nyenyak, gara-gara “ditemplak” Tuhan. Kini, demikian rohani. Bahkan, ketika mendapat masukan anak muda, dengan legowo, rendah hati mau mendengar. Tak ada lagi keras hati.
Latar belakang bisnis dan hidupnya yang sukses akan tetapi, selalu money oriented, kurang peka dalam kepedulian sosial orang lain. Makin hari, di usianya yang sudah di penghujung hidup. Membuatnya makin mengerti arti hidup.
Suatu kali, pernah sang konglomerat ini diingatkan oleh perempuan muda, bagaimana hidupnya yang sudah 73 tahun. Agar perusahaan besar miliknya, lebih bermanfaat ke lingkungan sekitar. Tanpa marah, ia menerima masukan itu.
Dalam proses waktu, konglomerat hebat itu tak hanya kelihatan hebat di mata manusia.
Luar biasanya, di ujung hidupnya, sang konglomerat semakin nyata, banyak sekali ia memberi manfaat dan kontribusi ke bangsa ini. Ia menjadi hebat di mata Tuhan.
Wajahnya yang ganteng, kelihatan penuh kasih. Kelakuan hidupnya pun berubah, lebih menjadi sufi dan selalu memikirkan orang lain, gampang tergerak pada hal-hal yang penuh kasih.
Antara obrolan dan kelakuan sama. Menjadi figur hebat tak hanya di mata keluarga, tapi banyak orang. Ia dikenal sebagai figur yang berintegritas.
Maka, seorang wartawan menemuinya dan melakukan interview.
Maaf, nama asli si konglomerat atau orang kaya yang humble ini sengaja dirahasiakan di meja redaksi. Tapi, yang terpenting ini kejadian nyata dan menjadi refleksi kita.
Wartawan: Apa sih arti kebahagiaan bagi Anda?
Konglomerat: Saya punya banyak pengalaman hidup saya sebagai pengusaha dan profesional. Tapi, ada empat kali dalam hidup saya, yang akhirnya menggugah saya.
Yang membuat saya berubah, termasuk kamu, jurnalis hebat seperti kamu. Yang hidupnya penuh integritas dan kasih.
Jadi, semoga juga, wawancara ini menguggah, orang-orang kaya di muka bumi ini, atau siapa saja. Bahwa hidup ini tak selamanya.
Jangan bangga menjadi orang kaya, jika belum mendapatkan apa yang namanya kebahagiaan sejati di hidup ini.
Wartawan: Maksudnya Gimana pak?
Konglomerat: Begini. Kebahagiaan pertama, saat saya mengumpulkan uang banyak sekali. Tapi, itu juga enggak berlangsung lama.
Kemudian, Kebahagiaan yang kedua saat saya mendapatkan barang-barang yang berharga seperti mobil di pakaian mahal. Sebagai profesional, saya juga mendapatkan saham di perusahaan-perusahaan yang saya bangun.
Kebahagian ketiga, saat saya mendapatkan proyek besar sekali. Termasuk, saat saya jadi rekanan kementerian, pemasok bisnis ini dan itu, tak hanya Indonesia, di Asia dan Afrika. Dan ada beberapa lagi.
Tapi, entah mengapa, kok rasa kebahagiaan itu sepertinya cepat sekali hilang.
Kalau boleh jujur, saya baru merasakan kebahagiaan yang hakiki, justru di momen keempat. Di momen ini, saya mendapatkannya, dan membuat saya merasa enak dan demikian berarti di hidup ini.
Wartawan: Kenapa begitu?
Konglomerat: Ya, ketika saya diminta menyumbang kursi roda, untuk anak-anak cacat.
Waktu saya ingin memberikan uangnya saja, teman saya yang mengirim formulir sumbangan berkata, “Kamu harus ikut, memberikan sendiri kepada mereka yang membutuhkan kursi roda itu.”
Wartawan: Apa Yang Kemudian Anda Lakukan?
Saya serahkan kursi roda dan melihat sendiri, bagaimana anak-anak cacat itu bersuka cita, saat diberi kursi roda yang saya sumbang itu.
Mereka saling kejar mengejar, berteriak kegirangan. Oh, demikian bahagia saya saat itu, melihat mereka.
Saat itu, saya secara terang benderang melihat kebahagiaan yang nyata. Tidak terlukiskan kata-kata.
Tatkala, saya melihat anak-anak itu, merasa sangat bahagia. Kebahagiaan mereka. Air mata bahagia, bahkan meleleh di pipi saya.
Sungguh, suka cita dan bahagia sekali saya saat itu.
Dan, yang membuat saya tersentak. Saat mau pulang, tiba-tiba dari anak-anak cacat itu. Mengejar dengan tergesa. Saya yang berdiri hendak mau pamit, saya ditahan. Kaki saya dipeluk.
Bahkan, ada salah seorang anak, memegang erat kaki saya. Ia memandang saya dari kursi roda. Memandang saya dalam…oh Tuhan.
Pelan-pelan, saya berusaha melepaskan pegangan tangannya. Tapi, sang anak itu, bukannya melepas pegangan.
Justru si anak itu, semakin erat memegang kaki saya. Saya pun membungkuk, memandang anak itu.
Saya pun bertanya, dengan suara pelan. “Apa yang kamu butuhkan lagi anakku.”
Si Anak bukannya menjawab. Ia kembali menatap mata saya tajam. Ia kemudian berkata, “Saya ingin melihat wajahmu, Pak…Lebih lama dan lebih dalam lagi…”
Saya ingin mengingat wajahmu Pak, supaya tidak buta dan saat nanti di surga saya ucapkan, terima kasih lagi.
Wow! Sontak saya kaget, sangat terharu. Campur baur yang saya rasakan.
Si anak itu berujar: Biarlah, saat saya puas memandangi bapak.
Anak itu pun sambil memandang saya berujar, “Saya terus ingat wajah bapak, sehingga saya ketika bertemu bapak kembali di surga. Saya bisa terus ingat, atas kebaikan hidup yang bapak berikan atas apa yang mengubah hidup saya.
Jika nanti kita ketemu di surga, saya akan senang sekali bertemu bapak. Saya akan kembali lagi, mengucap terima kasih. Terima kasih, sekali lagi…..
Mendengar kata-kata yang dalam dan penuh arti itu, saya merinding.
Sejak saat itu, hidup saya berubah, menyadari kebahagiaan paling Hakiki di hidup ini adalah, di saat kita bisa membahagiakan orang lain.
Wartawan: Terima kasih pak, kiranya kesaksian ini menjadi refleksi siapa saja yang membaca.
Konglomerat: Ya, kiranya kesaksian ini, menjadi refleksi kita. Untuk mendapatkan kebahagiaan yang hakiki, sebenarnya sederhana saja. Tak perlu harus kaya dulu, baru bahagia.
Kebahagiaan yang hakiki, saat kita bisa membahagiakan orang lain. Nah, sudahkan Anda membahagiakan orang lain di hari ini?
BACA JUGA: Sosok berintegritas Jika, Klik ini