[ad_1]
Sulit dipungkiri, penggunaan bahan bakar fosil masih menjadi primadona bagi masyarakat. Padahal sumber energi fosil jadi salah satu penyumbang emisi karbon terbesar dan tentu keterbatasan dalam persediaan. Hal ini menjadi pencetus spirit global untuk bersaing mengendalikan emisi karbon dan perubahan iklim. Realisasi Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi solusi prioritas.
Berdasarkan data perhitungan cadangan migas tahun 2020 dengan asumsi tidak ditemukannya cadangan migas baru, Indonesia memiliki persediaan cadangan minyak bumi sebanyak 4,17 miliar barel namun hanya tersedia hingga 9,5 tahun mendatang. Sedangkan, cadangan gas bumi mencapai 62,4 triliun kaki kubik yang hanya tersedia hingga 19,9 tahun mendatang[1]. Ancaman krisis energi kian hari makin menghantui masyarakat Indonesia.
Adanya moratorium pada kehidupan pandemi pun tak mampu menghentikan sebaran gas rumah kaca di atmosfer. Tercermin dari target Kebijakan Energi Nasional (KEN), porsi energi terbarukan dalam bauran energi nasional mencapai 23% tahun 2025 dan akan meningkat menjadi 31% pada tahun 2050. Perlu dukungan dan etos kerja yang besar untuk mencapai target tersebut. Tidak hanya pemerintah, tapi masyarakat dan pemangku kepentingan juga harus optimis akan pencapaiannya. Meski banyaknya rintangan dan keterbatasan secara bertahap harus dilalui.
Indonesia termasuk negara tropis yang memiliki luas 5.193.250 km2 mencakup lautan dan daratan. Luas yang sangat besar dan memiliki topografi yang beragam justru mengakibatkan proses pembangunanan berkelanjutan banyak menimbulkan persoalan. Jumlah pelanggan Perusahaan Listrik Negara (PLN) rumah tangga bahkan mencapai 70 juta konsumen. Sehingga menimbulkan persepsi konsumsi energi primer mencapai 400 juta ton setara minyak (MTOE) pada tahun 2025[2].
Mengutip data Kementrian ESDM, bahwa rasio realisasi energi tahun 2020 didominasi oleh batubara 38.04%, minyak bumi sebesar 31,6%, disusul dengan dan gas bumi 19,16%. Hal ini mendasari bahwa pemanfaatan energi baru terbarukan belum maksimal karena masih didominasi peran energi fosil. Apakah tega jika kita hanya menjadi obyek pengadaan saja ? Tentu jangan, pepatah “Sedikit demi sedikit lama – lama menjadi bukit” memang benar adanya, karena sebuah impian yang besar memang harus berawal dari inisiatif hal kecil.
Keterjangkauan (harga terjangkau) dan keberlanjutan (berkelanjutan) menjadi tantangan terbesar dalam akselarasi transisi energi terbarukan. Pasalnya hingga saat ini harga energi fosil lebih kompetitif dibandingkan harga pengadaan EBT. Bahkan daerah 3T (Terdepan, Terpencil, dan Tertinggal) memiliki perbandingan kebutuhan (tuntutan) dan pasokan (Pasokan) listrik yang tidak berbanding lurus. Lantas refleksi tindakan apa yang dapat dilakukan oleh kita ?
Menjadi negara tropis yang dilalui garis khatulistiwa adalah kekayaan negara yang sangat luar biasa. Matahari selalu bersinar pada siang hari tanpa terhalang musim. Hal ini menjadikan Indonesia mempunyai kekayaan potensi tenaga surya hingga 207,8 Puncak Giga Watt (GWp). Sangat disayangkan rupanya eksekusi kapasitas terpasang pembangkit listrik EBT masih sangat minim yaitu 10 GW setara 11% pada tahun 2021. Dengan kapasitas terpasang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) masih 0,15 GW.
Minimnya pemasangan pembangkit listrik EBT khusunya PLTS di negara tropis justru menjadi terobosan peluang bisnis baru bagi negara sub-tropis. Singapura pun rela membangun laboratorium yang mengacu pada iklim negara tropis[3]. Sangat disayangkan bukan ? sudah seharusnya pemerintah, pemangku kepentingan, dan masyarakat saling bahu membahu untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan mempercepat bauran energi 23% pada tahun 2025.
Seluruh masyarakat layak untuk menjadi agen perubahan dengan terlibat secara langsung dan memberikan sumbangsih dalam pengembangan EBT di Indonesia. Mengacu peta jalan pengembangan energi terbarukan di Indonesia (2020) bahwa peluang strategis akselerasi transisi energi dengan subtitusi dan konversi energi primer, penambahan kapasitas terpasang EBT dengan fokus pemasangan PLTS, pemanfaatan EBT non listrik (seperti briket dan biogas).
Sebongkah cita–cita, segudang rencana, setumpuk ide cemerlang tak akan pernah terwujud apabila tak berani memulainya dari inisiatif hal kecil dan tak adanya dukungan pihak lain. Pemuda sudah seharusnya memegang peran penting untuk terus mewujudkan cita – cita kedaulatan energi negeri (sebagai mediator bagi pemerintah dan edukator langsung bagi masyarakat) yang diharapkan mampu memberikan solusi kreatif dan perubahan inovatif secara lokal maupun global.
[1] Arifin Tasrif, “Menteri ESDM : Cadangan Minyak Indonesia Tersedia untuk 9,5 Tahun dan Cadangan Gas 19,9 Tahun”, Siaran Pers Nomor 028.Pers/04/SJJ/2021 tanggal 19 Januari 2021.
[2] Satya Widya Yudha, “Webinar Energi Nasional “Transisi Energi Saat dan Pasca Pandemi : Peluang dan Tantangan”, Yogyakarta, 14 Agustus 2021.
[3] dr. Dalam Eko Adhi Setiawan, “Webinar Menuju Indonesia Tantangan Energi Terbarukan”, Sabtu, 11 Juli 2020
[ad_2]
Sumber Berita