Fit Tapi Tidak Fat

Pola Hidup Eksekutif di Indonesia 

Keberadaan alat bantu seks mungkin bisa mengatasi gejala penurunan libido seksual di kalangan eksekutif. Sementara, kegemukan bisa dihindari dengan banyak bergerak. Bahkan, WHO pun peduli pada hal ini. 

INDONESIANTALK.COM – Beberapa waktu silam, jarang sekali, atau lebih tepat dikatakan terselubung, orang menjajakan pernak pernik atau aksesori alat bantu seks, baik untuk pria maupun wanita di Indonesia.

Kini, komsumsi “perangkat pemuas nafsu” ini makin melonjak. Toko-toko penjajanya pun, kalau dahulu malu-malu untuk menggelarnya, kini malah diiklankan di media masa. Pembelinyapun tiada sungkan untuk menanyakannya secara terbuka.

Menurut penuturan salah satu penjaga toko yang menjual barang-barang tersebut, yang tidak mau disebut namanya,  setiap hari selalu saja ada pembeli. Kebanyakan di antaranya memang pria, meskipun ada juga wanita.

‘Kalau yang wanita, kebanyakan mereka mencari vibrator,” ungkapnya sembari memperlihatkan beberapa jenis vibrator yang dipajang di etalase.

Lebih lanjut pria yang telah setahun bekerja di tempat itu berkisah, kebanyakan pelanggannya berasal dari kelas atas. “Kalau datang, mobilnya bagus-bagus,” imbuhnya.

Memang, agaknya sulit membayangkan mereka dari kelas bawah yang mengomsumsi barang-barang tersebut. Harganya saja ratusan ribu, bahkan ada yang mencapai jutaan rupiah.

Menurut beberapa studi, baik di dalam maupun luar negeri, konsumen peralatan ini kebanyakan adalah para eksekutif.

Dilihat dari sisi kesanggupan secara ekonomi, kalangan ini mampu menjangkau harga barang-barang tersebut. Namun, lebih dari itu, kalangan ini pula yang seringkali mengalami gangguan penurunan libido seksual.

Dan, mereka membutuhkan peralatan ini agar dapat meskipun sifatnya sementara,  membangkitkan kembali gairah seksual mereka.

Memang, di Indonesia tidak hanya penurunan libido seksual yang banyak hinggap pada kalangan ini. Hampir semua riset yang telah dilakukan Fortune di Amerika itu, menurut Dr. Nanni Cahyani, dokter spesialis olahraga pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, cukup mewakili kondisi eksekutif di Indonesia.

Apalagi, jika membidik persoalan gaya hidup, Amerika kerap dijadikan acuan bagi negara lain, termasuk Indonesia.

Hal lain yang menjadi kepedulian Nanni adalah gejala kelebihan berat badan yang juga sering menghinggapi eksekutif  Indonesia di usia menjelang 40-an.

Memang, gejala itu bukan menjadi monopoli kalangan ini karena selain para eksekutif, banyak juga mereka yang datang dari kalangan lain yang mengeluhkan masalah tersebut.

Menurut dokter yang juga aktif di induk organisasi menembak Indonesia (Perbakin)ini, pola hidup, terutama pola makan, merupakan hal paling utama yang menjadi penyebab kegemukan.

Bekerja di bawah tekanan serta mobilitas yang tinggi, membuat para eksekutif mengabaikan pola hidup dan pola makan yang baik.

Pola hidup yang dimaksud Nanni adalah menyangkut bagaimana menjaga keseimbangan antara aktivitas sehari-hari dan olahraga. Jika aktivitas sehari-hari bisa diseimbangkan, kata dia, orang tersebut akan mendapatkan kebugaran tubuh.

“Dan tubuh yang bugar biasanya tidak gemuk dan tingkat efisiensinya sangat tinggi,” ucapnya.

Kegemukan, menurutnya, diakibatkan oleh kebiasaan mengonsumsi makanan yang tinggi tanpa menyeimbangkannya dengan aktivitas.

Sehingga, sisa makanan yang tidak terpakai itu, lalu berubah menjadi lemak yang menggumpal di tubuh, “Acuannya begini saja, orang yang fit itu biasanya memeliki otot yang banyak. Lemak di tubuhnya sedikit saja,” jelas Nanni.

Olahraga lagi-lagi menjadi begitu penting bagi kalangan eksekutif mengingat dalam kesehariannya, mereka tidak banyak bergerak.

Bayangkan seorang eksekutif yang mulai jam  05.00 sudah meninggalkan rumah menuju kantor dengan mobil sendiri.

Di kantor, dia tidak banyak bergerak karena kebanyakan hanya duduk di belakang meja. “Kalaupun mereka bergerak, pergerakannya minim sekali, sehingga komsumsi makanan yang masuk ke dalam tubuh tidak seimbang dengan pengeluaran yang sama. Di sinilah kemudian lemak muncul dan mengakibatkan kegemukan,” kata Nanni.

Aspek stres barangkali sangat kental juga nuansanya pada kalangan ini. Hanya, menurut Nanni, stres tidak banyak berpengaruh pada kebugaran, sehingga secara tidak langsung sedikit sekali pengaruhnya pada kegemukan.

Ia memaparkan, energi yang dihabiskan karena lelah sentral otak terlalu sedikit jika dibandingkan dengan lelah otot.

Untuk itu, menurut dia, para eksekutif pun perlu mendengar imbauan World Health Organization (WHO) untuk selalu bergerak, usahakan bangun lebih awal setengah jam agar bisa melakukan gerakan. “Dan, diusahakan rumah memiliki halaman agar bisa dimanfaatkan untuk melakukan gerakan-gerakan kecil,” urainya.

Mengapa rumah? “Karena, lokasi-lokasi umum seperti lapangan makin langka,” jawabnya lugas. Kalau tidak di rumah, segeralah mendaftar di salah satu fitness center. Begitu pesannya.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »