[ad_1]
oleh: M. Nur Kholis Al Amin
Di zaman yang penuh dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi seperti sekarang ini, yang jamak orang menyebutnya dengan era modern, kekinian. Jika tidak mengikuti zaman itu artinya gak gaul, gaptek, kuper, kolot dan macam-macam sebutan lainnya. Pastinya, tetep ada, kok, sisi positif dari era modern, namun, sebenarnya ada juga dampak negatifnyay ang mungkin saking asiknya terbuai oleh kemoderenan jadi terlupa akan dapak negatif tersebut.
Memangnya apa sih dampak negatif yang timbul karena zaman yang semakin progresif? Tentunya sebagian besar budaya adat yang berkembang dan telah diajarkan oleh leluhur kita semakin terlupakan, bahkan sejarahpun enggan mencatat ataupun mengarsipkannya.
Sahabat semua yang asli Jawa pasti tau atau minimal pernah mendengar dari saksi hidup yang dulu pernah bercengkerama dengan kehidupan ala era tahun 90-an. Di mana, saat itu ketika mereka yang masih seusia Sekolah Dasar masih suka bermain tembak-tembakan yang terbuat dari pelepah daun pisang, bermain ketapel yang terbuat dari perpaduan bungkus permen yang divariasi dengan karet. Alhasil, jadilah tembak-tembakan ala ketapel dengan peluru dari biji-bijian, bisa kacang, kedelai, ataupun biji pohon tetehan. ‘
Lalu permainan lain yang masih ngetren saat itu, permaianan kelereng, gambaran, dan permainan lain yang melibatkan banyak anggota teman-teman dengan nuansa sosialya pasti lahkan belum ada gadget. Uniknya, saat usia-usia tersebut, anak-anak yang sedang terbuai dengan permainannya apabila saat bermain diluar jam sekolah, kalau bertemu guru nya saat bermain punya rasa malu-malu dan bahkan takut juga.
Uniknya lagi, saat itu masih hidup suatu kebiasaan, yang ketika saat bersepeda dan melewati depan orang sepuh tidak enggan untuk turun dari sepedanya dan menuntun sepedanya hanya sekedar untuk menghormati orang sepuh tersebut, sambil berucap katakan halo-nya anak zaman dulu: Saya minta maaf, atau lebih, saya minta maaf. Namun budaya yang unik seperti itu kemana ya sekarang? Tergerus oleh zaman ataukah sejarah dengan tidak sengaja telah melupakannya?
Dari sisi agama pun, terkadang tradisi yang berupa ritual terkadang divonis dengan perbuatan bidah, dan setiap bidah itu dhallah dan ketika sudah dhallah itulah kembalinya neraka. Tolong donk. Tidak semua tradisi yang berbau ritual atau bahasa dalam Islam dikenal dengan istilah “ibadah” yaitu dhalalah. Dalam tradisi Jawa, nenek moyang kita yang telah menyebarkan agama Islam di tanah Jawa mengemas beberapa tradisi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat dengan penuh makna tersirat (sanepo), seperti ritual yang menggunakan ingkung (hidangan ayam tanpa memisahkan anggotanya. Tubuhnya).
Uniknya, ada makna dibalik penamaan dan tata cara memasak ingkung itu sendiri, ingkung memiliki arti ilengo dengan Tuhan Yang Maha Esa, kamu akan di telikung besok, mulai bukan kumalungkung. (Ingat Allah SWT, Anda akan dibungkus dan diikat dengan kain kafan, jadi jangan sombong). Tradisi lain terlihat dengan setiap desa yang memiliki pintu gerbang, yang diambil dari bahasa Arab ghafuuran yang memiliki arti bahwa ketika seseorang masuk melalui pintu gerbang maka dosa-dosanya akan diampuni oleh Tuhan Yang Maha Pengampun.
Ini juga memiliki hubungan yang sangat kuat dengan tradisi sekaten; diambil dari bahasa syahadat yang merupakan ritual yang harus dilakukan oleh setiap muslim dengan bersyahadat atau mengucapkan dua kalimat syahadat agar dosa-dosanya diampuni oleh Allah SWT.
Dalam tradisi perkembangan hukum kewarisan pun, masyarakat Jawa membuat beberapa aturan kewarisan yang mudah untuk dimengerti dan dipraktikkan dalam pembagiannya, semisal lahirnya adagium segendong lan sepikul, gedong adalah hanya disatu sisi saja sedangkan mikul itu dalam dua sisi (depan dan belakang) yakni bagian satu dan dua, satu bagi anak perempuan dan dua bagi anak laki-laki (1:2) sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Q.S An-Nisa (4); 176; falidzdzakari mitslu hadhdhi al-untsayaini, kemudian dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)—yang merupakan sebagian dari hukum materiil Peradilan Agamamerumuskan bahwa bagian harta waris anak perempuan apabila bersamaan dengan anak laki-laki adalah satu banding dua.
Pembagian warisan dalam realitas masyarakat adat Jawa cenderung menjunjung tinggi makna pentingnya musyawarah, sehingga dalam pembagian warisan diperkenalkan dengan prinsip kekeluargaan dalam pewarisan yaitu harta warisan dapat dibagi berdasarkan kesepakatan antara ahli waris, setelah mengetahui bagian masing-masing, yang dalam KHI, kemudian dirumuskan dalam Pasal 183.
Keunikan lainnya adalah penamaan alat-alat keseharian yang digunakan oleh masyarakat Nusantara pada saat itu sebagai Masyarakat agraris yang cenderung memenuhi kebutuhannya dengan cara bertani, salah satu alat tersebut adalah pacul (bahasa Indonesia; Cangkul). Di mana pada dasarnya cangkul terdapat tiga bagian utamanya, yakni: 1. Pacul; bagian yang tajam untuk mengolah lahan pertanian, 2. Bawak; lingkaran tempat batang doran, dan 3). Doran; batang jkayu untuk pegangan cangkul. Ketiga bagian tersebut harus bersatu untuk dapat digunakan oleh petani, di mana dari masing-masing dari bagian tersebut memiliki arti masing-masing, seperti pacul mewakili arti ngipatake barang kang muncul, maksudnya adalah menyingkirkan bagian yang tidak rata, yang arti lebih jauhnya adalah manusia harus menyingkirkan sifat-sifat yang tidak rata, seperti berlebih-lebihan, egois, cepat marah, mau menang sendiri dan sifat-sifat jelek yang lainnya.
Sedangkan bawak memiliki arti obahing awak atau gerak tubuh, yang maksudnya adalah bahwa manusia dalam kehidupannya diwajibkan untuk berikhtiyar mencari rizki guna memenuhi kebutuhan hidup dan diiringi pula dengannyembah maring Gusti ing sekabehane kahanan (menyembah Tuhan dimanapun kita berada), dan inilah potret arti ikhtiyar yang sebenarnya. Yang ketiga adalah doran (ojo adoh maring Pengeran), yakni jangan menjauhi Tuhan.
Karena suatu keunikan dari sebuah tradisi dan adat budaya dalam suatu masyarakat tertentu, maka dalam perkembangannya pun hukum Islam menelorkan salah satu kaidah fikih yang terkait dengan adat, yakni kaidah al-adatu al-muhakkamah (adat kebiasaan itu bisa dijadikan suatu hukum). Tentunya adat-adat kebiasaan yang syarat dengan nilai-nilai positif (baik).
Demikian sekelumit budaya dan tradisi Jawa yang mempunyai keunikan, semoga sejarah tidak melupakannya, dan akhirnya tradisi yang unik tersebut bisa menjadi tutur tinular, yakni bisa sebagai pitutur, wejangan ataupun nasihat yang mampu menular (memberikan dampak) positif bagi masyarakat Nusantara. Amin
[ad_2]
Sumber Berita