Ancaman Learning Loss dan Penurunan Karakter Pelajar – Analisis

[ad_1]

Hampir genap dua tahun dunia dihadapkan dengan kondisi yang menyebabkan terhalangnya interaksi sosial, terhambatnya pendidikan serta ekonomi yang disebabkan adanya wabah pandemi. Terkhusus di bidang pendidikan melalui intruksi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 serta surat edaran Nomor 4 tahun 2020 tentang Pelaksanaan kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (Covid-19).

Hal itu mengawali deretan panjang permasalahan ataupun dampak dari diselenggarakannya pembelajaran jarak jauh (PJJ). Saat ini terdapat banyak hasil penelitian yang mengemukakan dampak dari PJJ bagi pelajar Indonesia. Baru-baru ini Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Republik Indonesia, Nadiem Anwar Makarim mengungkapkan kekhawatirannya terhadap ancaman kehilangan belajar terhadap mahasiswa Indonesia.

Menurut Nadiem, PJJ yang berkepanjangan dapat berdampak negatif dan permanen yang bisa menyebabkan anak-anak Indonesia sulit mengejar ketinggalan dalam pembelajaran. Adapun dampak tersebut antara lain dilihat dari aspek putus sekolah, penurunan capaian pembelajaran dan kesehatan mental serta psikis anak-anak, dimana semuanya bisa menjadi risiko yang lebih besar.

Kemendikbud melakukan survei kepada sekolah terkait potensi kehilangan belajar atau kehilangan kompetensi belajar siswa akibat pembelajaran jarak jauh. Hasilnya terdapat 20 persen sekolah secara nasional menyatakan sebagian siswa tidak memenuhi kompetensi atau mengalami kehilangan belajar.

Mengutip dari Kompas.com, kehilangan belajar adalah istilah yang mengacu pada hilangnya pengetahuan dan keterampilan baik secara umum atau spesifik. Atau terjadinya kemunduran proses akdemik karena suatu kondisi tertentu.

Kondisi tersebut, antara lain adalah periode libur panjang pada kalender akademik, peristiwa putus sekolah yang dialami siswa karena kemiskinan, hingga ditutupnya sekolah tatap muka karena pandemi. Keadaan ini semakin mengkhawatirkan, sebab sejak sebelum pandemi pun Indonesia sudah tertinggal di bidang literasi numerasi dan sains dibanding beberapa Negara lain, termasuk Negara tetangga.

Selain ancaman kehilangan belajar, ada ancaman lainnya yaitu penururunan karakter peserta didik. Hal ini bisa dilihat salah satunya dari banyaknya kasus peserta didik yang berbicara kurang sopan terhadap guru, menggangu proses pembelajaran di Rapat Zoom, menurunnya sikap saling menghormati dan menghargai sesama dan masih banyak hal lainnya. Selain itu, peserta didik juga menjadi lebih mudah menyerah ketika  ketika muncul dengan kesulitan yang dihadapi

Kata karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “untuk menandai” (menandai) dan memfokuskan, bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Secara etimologis, karakter dapat dimaknai dengan sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri seseorang atau suatu kelompok. Hal ini bertujuan untuk menciptakan karakter peserta didik yang paripurna, sampai mendekati titik terwujudnya insan kamil. Namun, bisa diperjelas pada upaya untuk mewujudkan kecerdasan spiritual, emosional, intelektual, dan estetika.

Hingga saat ini sejak pemberlakuan pembelajaran tidak langsung atau dalam jaringan (daring) tanggung jawab terbesar ada pada orang tua, namun tidak ada jaminan orang tua melakukan pengawasan terhadap belajar anak, padahal sebelum pembelajaran on line diberlakukan, proses belajar anak secara langsung diawasi oleh guru secara intensif dan dapat diukur keberhasilannya. Dan tak ada jaminan pula orang tua memberikan pendidikan karakter pada anak selama pembelajaran dari berlaku. Hal ini lah yang membuat kehilangan belajar dan kenakalan remaja oleh peserta didik.

Pendidikan merupakan hak setiap anak dan dapat menjadi salah satu kkunci untuk mengatasi kemiskinan karena dapat memberdayakan individu untuk menjalani kehiduoan yang berkelanjutan. Namun kondisi di Indonesia, berdasrkan data UNICEF pada tahun 2016 2,5 juta siswa putus sekolah di Indonesia, 42 persen dari jawa, 24 persen SD, dan 76 persen SMP. Lebih lanjut angka penganguran yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020, angka pengangguran di Indonesia sebanyak 9,77 juta. Kemudian data dari Kementerian PPN/Bappenas angka putus sekolah pada tahun 2019 sebanyak 4,3 juta siswa. Tentunya angka-angka ini ada kemungkinan terus mengalami kenaikan, dikarenakan kondisi pandemi yang tak kunjung usai.

Melansir dari bdkjakarta.kemenag.go.id, penelitian yang dilakukan dengan jumlah responden sebanyak 178 orang tua siswa dari jenjang TK sampai dengan SMU menunjukkan bahwa orang tua siswa setuju untuk mengatakan bahwa mereka tidak dapat sepenuhnya melakukan pendidikan karakter terhadap anaknya tanpa bantuan guru. Dan para orang tua menyakini bahwa peran guru sangat membantu mereka dalam membentuk dan membangun karakter anak-anaknya. Mereka merasa bahwa keberadaan seorang guru dalam membangun karakter sangat dibutuhkan.

Lantas apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi ancaman learning loss dan penurunan karakter peserta didik ?

Mengatasi ancaman kehilangan belajar dan penurunan karakter peserta didik dapat dilakukan dengan partisipasi aktif dari pemerintah, sekolah, masyarakat dan terpenting orang tua. Pembangunan kualitas pendidikan di Indonesia harus dilakukan secara bersama-sama tidak hanya bagi pemerintah dan para pendidik, tetapi saat ini peran sentral ada pada orang tua.

Lalu timbul pertanyaan kembali, bagaimana memaksimalkan peranan orang tua, bahwa seperti yang kita ketahui, orang tua memiliki kesibukan lain, sehingga interaksi dengan anaknya sangatlah terbatas. Belum lagi permasalahan ketidakpahaman orang tua dalam melakukan pengawasan dan juga membangun karakter anak.

Solusi yang dapat ditawarkan yaitu dengan dilakukan pertemuan rutin antara orang tua dengan pihak sekolah, yang bertujuan untuk menyamakan persepesi antara orang tua dengan pihak sekolah mengenai tanggung jawab pentingnya pengetahuan dan keterampilan serta pendidikan karakter anak. Selanjutnya, mengedukasi orang tua dalam melakukan pengawasan dan pemberian pendidikan karakter.

Hal itu dilakukan dengan tiga materi pokok yaitu, pertama, cara yang tepat untuk melakukan pendekatan kepada anak/remaja, yang kedua, cara membantu anak dalam mengatasi kesulitan yang dialami, dan yang ketiga, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan pengawasan dan cara memberikan pendidikan karakter pada anak.

Dengan mekanisme dilakukan secara daring. Namun, bagi sekolah yang memiliki perserta didik di kalangan prasejahtera, boleh melakukan secara tatap muka langsung. Dilakukan secara berkala. Dilakukan evaluasi sebulan sekali dan dilakukan sesi konsultasi untuk orang tua siswa yang merasa kesulitan dalam melakukan pengawasan dan memberikan pendidikan karakter bersama psikolog.

Orang tua harus paham bahwa tanggung jawab mendidik anak-anak mereka bukan hanya tanggung jawab sekolah saja, tapi dikondisi seperti ini peran mereka lah yang sangat utama dan penting. Sekolah juga bisa memberikan pengawasan dan penilaian terhadap peserta didik, berikut juga orang tuanya. Serta peran masyarakat dalam hal ini komunitas sosial, dapat bergerak untuk membantu memberikan edukasi kepada para orang tua dan juga melakukan pendampingan, serta peran pemerintah untuk dapat membantu memfasilitasi terkait, pendanaan dan lain sebagainya.



[ad_2]

Sumber Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »