Public Watch Integrity (PWI) menyikapi rencana pemerintah untuk memberlakukan Pajak karbon di Indonesia, dengan niat baik.
Hanya saja, niat baik terkait pajak karbon itu belum tepat diberlakukan saat ini.
Pajak Karbon Sebagai Instrumen Pengendali Perubahan Iklim
Kita masih dalam badai atau efek Covid, Industri sedang akan bergerak kembali, Pemerintah jangan seenaknya membebani industri, karena sejatinya lagi bingung mau ambil kas darimana, dalam mengisi kantong belanja negara.
Saran PWI, jangan pemerintah “akal-akalan” tarik pajak. Lebih baik, kejar semacam rekening jumbo Rp 120 Triliun, yang diungkap PPATK, sebagai rekening oknum.
“Sita itu untuk menjadi aset negara, jangan kemudian dimakan aparat tidak berintegritas. Kalau mau pajakin industri dengan pajak carbon, sudah jelas belum dengan program pembenahan lingkungannya,” demikian sikap PWI.
Niat untuk keberlanjutan lingkungan, dalam hal ini mendesak secara dunia, terkait climate change atau isu perubahan iklim, maka muncul ide industri dikenakan pajak karbon.
Hanya pas di negara maju, sementara tidak untuk Indonesia. Negara maju dikenakan pajak oleh kita, yang masuk punya banyak pohon sebagai paru-paru dunia.
“Dengan catatan, yang menampung pajak juga harus punya program jelas untuk keberlangsungan lingkungan,” ujar S.S Budi Raharjo, pendiri PWI yang juga Ketua Forum Pimpinan Media Digital Indonesia, dalam rilisnya kepada media massa.
PWI menilai, saat ini instrumen fiskal yang digunakan menggabungkan semua pendapatan negara untuk kemudian diatur dan dibagikan sesuai dengan UU APBN.
“Aplikasi pajak karbon hanya akan membebani industri, yang berdampak harga menjadi mahal. Harga barang dari industri itu jadi naik, yang ini dibebankan ke masyarakat,” ujar Budi jojo.
Sementara pajak carbon yang dikumpulkan pemerintah, belum jelas, mekanismenya untuk pembenahan lingkungan, untuk masyarakat adat atau apa.
“Jangan hanya mengambil pajak masyarakat, tapi tanpa membeberkan program pembenahan lingkungan yang jelas. Ujungnya, masyarakat yang dibebankan,” masih kata rilis PWI.
Public Watch Integrity menegaskan, saat ini belum ada instrumen kebijakan yang menjelaskan hasil pungutan pajak karbon untuk program tertentu.
Sekalipun dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) maupun turunannya
BACA JUGA: COP26 Berakhir Dengan Tidak Ada yang Benar-Benar Bahagia
Kita punya pengalaman, sebagaimana tarif cukai tembakau yang secara khusus dialokasikan untuk anggaran kesehatan.
“Kenyataannya BPJS kita, selalu disubsidi, bukan dicover dari tarif cukai. Demikian juga untuk pajak karbon ini. Siapa yang berintegritas buat masalah penanggulangan lingkungan,” masih dalam rilis PWI tentang pajak carbon.
PWI memandang lahirnya pajak karbon untuk menekan emisi masih jauh dari harapan. Sebab instrumen kebijakan yang dibuat pemerintah masih belum lengkap dan terlihat setengah hati.
Kalaupun mau mengambil pajak, carilah dari negara lain. Industri luar negeri yang enggak punya hutan, silahkan dipajakin.
“Hanya saja, pajak yang diperoleh dari industri dari luar Indonesia, harusnya juga ditangani dengan benar, oleh pihak yang kompeten dan berintegritas,” papar PWI mengingatkan.
Pemerintah jangan buru-buru mengenakan pajak karbon sebesar Rp 30 per kilogram (kg) karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Yang katanya berlaku mulai 1 April 2022.
Tugas pemerintah mensosialisasikan dulu, tentang pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Pengenaan pajak karbon dilakukan dengan memperhatikan peta jalan pajak karbon, dan/atau peta jalan pasar karbon.
Peta jalan karbon yang dimaksud yakni memuat strategi penurunan emisi karbon, sasaran sektor prioritas, keselarasan dengan pembangunan energi baru dan terbarukan, dan/atau keselarasan antar berbagai kebijakan lainnya.
Adapun kebijakan peta jalan pajak karbon adalah yang ditetapkan oleh pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Kemudian, subjek pajak karbon yaitu orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.
Pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu pada periode tertentu.
Adapun yang dikategorikan dalam saat terutang pajak karbon yakni pada saat pembelian barang yang mengandung karbon, pada akhir periode tahun kalender dari aktivitas menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu, atau saat lain yang diatur lebih lanjut berdasarkan peraturan pemerintah.
Pengenaan pajak karbon terkait, perluasan sektor pemajakan pajak karbon dengan penahapan sesuai kesiapan sektor terkait dengan memperhatikan antara lain kondisi ekonomi, kesiapan pelaku, dampak, dan/atau skala.