[ad_1]
Jilid pertama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dimulai pada tahun 2002 ketika Presiden (waktu itu) Megawati Soekarnoputri memutuskan pembentukannya sesuai amanah UU No 30 Tahun 2002, yang disepakati bersama DPR pimpinan Akbar Tanjung. Semangatnya bagus: memberantas korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. KPK juga dinyatakan independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Istilah intensif dan berkesinambungan itu agaknya didasari oleh keyakinan bahwa pemberantasan korupsi tidak bisa dilakukan sambil lalu, sebab praktik korupsi terjadi di mana-mana, tanpa kenal waktu, berskala kecil hingga masif, serta sistemik dan terencana. Korupsi model ini tak bisa ditangani secara amatiran. Masuknya semangat profesional itu mungkin bukan dimaksudkan untuk menyindir bahwa pemberantasan korupsi sebelumnya ditangani secara amatiran.
Dulu, Bung Hatta pernah berkata bahwa korupsi sudah membudaya, tapi banyak orang tidak suka dengan istilah itu. Kenyataannya, hingga hampir 20 tahun setelah KPK dibentuk, korupsi tidak kunjung reda dan masih merajalela, sehingga istilah membudaya itu tidak salah sebab praktiknya sudah dianggap lazim. Bagaikan fenomena gunung es, yang terlihat kasus-kasusnya hanyalah puncaknya. Bagian bawah gunung, yang melebar, tidak tampak dari permukaan.
Semangat pemberantasan berkesinambungan itu didasari oleh keyakinan bahwa praktik korupsi tidak akan hilang dengan cepat, ibaratnya hilang satu tumbuh seribu. Realitasnya, bahkan korupsi oleh pejabat papan ataspun tidak surut. Sebagai pohon, batangnya ditebang, akarnya menumbuhkan pohon baru. Penanganannya tak bisa hangat-hangat tai ayam.
Sebagai institusi yang independen, dan ini dijaga betul oleh insan-insan KPK selama hampir 20 tahun, KPK kemudian dipandang terlampau galak oleh para elite politik. Politisi mungkin terkejut bahwa mereka sudah menciptakan singa yang mengaum tanpa pandang bulu siapa yang dihadapi. Elite kekuasaan tidak menduga bahwa KPK bisa galak menghadapi menteri, ketua umum partai, jenderal, ketua DPR/DPD, hingga pengusaha kakap yang tajir melintir.
Sebagai sebuah cerita, disadari bahwa kisah tentang KPK tak bisa dihentikan tiba-tiba dan begitu saja. Maksudnya, tak bisa KPK dibubarkan dan ceritanya tamat sudah. Tapi, membiarkan KPK hidup bagai singa yang tanpa kendali—sesuai yang dikehendaki saat pembentukannya: independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun—juga berbahaya. Karena itu, para elite berembug bagaimana cara menjinakkan singa yang mengaum tanpa rasa takut ini.
Karena elite kekuasaan di masa kemudian berkehendak lain, maka disusunlah cerita baru dengan cara mengakhiri kisah KPK di jilid pertama. Sejumlah skenario pun disusun, seperti merevisi undang-undang tentang KPK tahun 2002 itu. Pada 2019 itu, atau awal periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi, revisi berlangsung cepat dan digodog oleh para penyambung lidah elite di parlemen bersama wakil pemerintah. Protes masyarakat dan mahasiswa tidak digubris.
Selanjutnya, dibentuklah panitia pemilihan pimpinan baru KPK dan duduklah Letjen Firli Bahuri dan kawan-kawan. Ada juga organ yang bernama Dewan Pengawas KPK. Negeri ini semakin heboh ketika pimpinan KPK menggelar tes wawasan kebangsaan yang berujung pada tidak lulusnya 57 pegawai KPK dari tes kontroversial itu. Tepat pada 30 September 2021, ke-57 pegawai yang sudah bertahun-tahun mengabdi untuk membuat negeri ini lekas bebas dari korupsi itu akhirnya dipecat. Mereka meninggalkan institusi tempat berjuang dengan dada tegak. Tak terdengar komentar Bu Mega mengenai babak akhir KPK jilid 1 ini, padahal KPK dibentuk pada masa pemerintahannya.
Begitulah jilid pertama KPK diakhiri menjelang institusi ini genap berusia 20 tahun, tahun depan. Cerita baru sedang ditulis dan menjadi jilid kedua KPK. Apakah KPK akan tetap galak? Entahlah, yang jelas KPK bukan lagi institusi independen yang bebas dari kekuasaan manapun. Institusi ini sudah jadi bagian dari eksekutif alias organ pemerintah, pegawainya sudah jadi aparatur sipil negara. Masihkah Anda percaya bahwa Firli dkk berjalan sendiri, termasuk ketika memecat 57 pejuang antikorupsi itu? Yah, mungkin Anda punya pendapat berbeda. Boleh-boleh saja sih, sebab jilid kedua baru ditulis beberapa halaman dan ceritanya entah akan bergulir kemana, tergantung penulis skenarionya. >>
[ad_2]
Sumber Berita