Tapering Off: Sedia Payung Sebelum Hujan – Analisa

[ad_1]

Spekulasi Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, segera merilis kebijakan meruncing begitu menghebohkan pasar portofolio global belakangan ini, tak terkecuali di Indonesia. Lonjong merupakan aksi moneter bank sentral yang mereduksi pembelian aset obligasi pemerintah dan industri jasa keuangan dengan disertai kenaikan suku bunga acuan.

Sebagai episentrum keuangan dunia, langkah The Fed tersebut bakal membuat pasar obligasi Amerika menjadi sangat menarik di mata para investor internasional. Pada gilirannya, mereka akan mencairkan portofolionya di negara-negara muncul, lalu memindahkannya ke sana.

Kisah dolar ‘pulang’ atau arus keluar modal inilah yang cukup dikhawatirkan. Banyak negara dalam klaster pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, umumnya merupakan importir investasi. Sehingga tatkala dolar pulang ke Negeri Paman Sam, likuiditas di pasar domestik akan mengering. Dan, saat pasokan dolar terkoreksi tajam, nila tukar bakal terdepresiasi cukup dalam.

Dampaknya, produk dan bahan baku impor akan merangkak naik, dan terjadilah apa yang disebut inflasi impor—kenaikan indeks harga akibat biaya impor yang menjulang. Dalam perekonomian, inflasi yang tak terkendali sudah barang tentu akan memukul daya beli masyarakat secara keseluruhan.

Sekilas, begitulah transmisi kebijakan meruncing The Fed terhadap perekonomian nasional. Meskipun, kapan aksi moneter itu akan diterapkan, belum jelas waktunya. Yang baru muncul adalah serangkaian sinyal dari perbaikan ekonomi AS, baik terkait pengendalian inflasi maupun perbaikan tingkat pengangguran.

Sejumlah ekonom dan pelaku pasar memang sudah mengestimasi, lonjong akan digelar pertengahan 2022. Akan tetapi, pun sebelum peristiwa itu benar-benar terjadi, Indonesia sudah semestinya mempersiapkan diri.

Toho, eksodus dolar dari pasar negara berkembang bukan peristiwa perdana. Di 2013 silam, arus modal keluar akibat pengetatan kebijakan moneter The Fed, juga pernah berlangsung dalam kisah yang begitu dramatik.

***

Bagi Indonesia, mengecilkan risiko meruncing jelas bukan sikap bijak. Sama tidak bijaknya dengan meremehkan hasil analisis lembaga layanan keuangan asal Jepang, Nomura Securities, yang memasukkan Indonesia dalam 10 kelompok negara yang rentan terimbas kebijakan itu, bersama Brasil, Kolombia, Chile, Peru, Hungaria, Romania, Turki, Afrika Selatan, dan Filipina.

Sebaliknya, terlalu was-was menyambut badai lonjong juga kurang diperlukan. Yang lebih dibutuhkan ialah kehati-hatian, antisipasi dan kalkulasi yang matang. Pasalnya, kondisi fundamental ekonomi RI pada 2021-2022 ini sama sekali berbeda dengan 2013-2014 lalu. Saat ini, bendungan yang dimiliki perekonomian nasional untuk menahan arus keluar modal jauh lebih kokoh ketimbang satu dekade sebelumnya.

Sejumlah indikator menunjukkannya. Satu, cadangan devisa saat ini cukup tebal, mencapai US$137 miliar, jauh di atas performa 2013 yang tercatat kurang dari US$100 miliar. Dua, defisit neraca transaksi berjalan (Defisit Rekening Giro/CAD) terus membaik, yang pada tahun 2013 di atas 3%, kini hanya tersisa 0,8% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Tiga, porsi kepemilikan investor asing untuk obligasi pemerintah kian sempit, hanya sekitar 22%, jauh dari angka di 2013 yang berada di atas 50%. Empat, utang pemerintah tidak didominasi oleh dolar, melain berdenominasi mata uang garuda secara mayoritas, dengan tren kenaikan yang 10 kali lipat lebih tinggi ketimbang yang berdenominasi mata uang dolar.

Keempat fundamental kokoh tersebut masih ditambah oleh perbedaan kondisi teknikal antara periode 2022 dan 2013. Saat krisis finansial Amerika pada 2008, hanya The Fed yang melakukan pelonggaran kebijakan moneter dalam skema pelonggaran kuantitatif untuk menginjeksi perekonomian dengan likuiditas melimpah. Sementara dalam krisis pandemi Covid-19 kali ini, mayoritas negara menggelar kebijakan serupa: relaksasi moneter.

Sehingga, suasana batin para investor juga berbeda. Mereka tahu sama tahu, seluruh bank sentral melakukan pelonggaran kuantitatif ketika ekonomi tengah lesu tersebab pandemi, dan pada saat hampir berbarengan—selagi perekonomian memasuki fase pemulihan, setiap negara mengetatkan kebijakan moneternya. Karena itulah, berbeda cerita dengan yang berlangsung di 2013, pada 2022 nanti kecil kemungkinan terjadi euforia berlebihan saat kelak meruncing dijalankan dengan benar.

***

Penanganan pandemi di Indonesia yang sangat meyakinkan belakangan ini juga menjadi modal penting. Penurunan angka positif Covid-19, tingkat positif, keterisian rumah sakit, hingga tingkat kematian melandai bakal turut meredam gejolak di pasar keuangan domestik.

Performa vaksinasi yang terus membaik, utamanya di sejumlah provinsi strategis seperti DKI Jakarta, Bali, dan Jawa Timur bakal memicu sentimen positif di pasar portofolio. Karena dengan pulihnya sektor kesehatan, perekonomian akan kembali berputar seiring bergeliatnya sektor riil. Hal ini secara langsung akan mempengaruhi konfidensi pelaku pasar.

Tingkat kepercayaan diri investor itu pula yang menjadi penentu apakah mereka akan melego aset portofolionya atau tetap menanamnya di Indonesia. Lebih-lebih, kolaborasi pemerintah (Kementerian Keuangan), Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan dalam mengantisipasi risiko lonjong saat ini lebih meyakinkan dan merupakan variabel penting yang dikalkulasi pemodal.

Ibarat akan terjadi hujan badai, Indonesia telah memiliki payung yang lebar dan kuat. Bahwa pasar keuangan domestik bakal terpapar percikan kebijakan moneter Amerika, itu sulit dihindari. Namun dengan payung yang memadai, perekonomian nasional—utamanya nilai tukar rupiah—akan lebih tahan banting kala dihantam kebijakan The Fed. Rasa-rasanya, cerita tentang kesetrum tantrum sebagaimana terjadi di 2013 silam tidak bakal terulang kembali.



[ad_2]

Sumber Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »