Tak Berkategori  

Relasi Kuasa di Balik Amarah Pejabat – Analisis

[ad_1]

Kebiasaan pejabat publik marah-marah di muka umum dan memarahi anak buah di hadapan banyak orang memang mengundang perhatian masyarakat. Haruskah amarah menjadi senjata andalan pemimpin untuk meyakinkan anak buahnya bahwa sesuatu itu sangat penting serta tidak boleh salah menanganinya? Haruskah amarah menjadi cara untuk menunjukkan apa yang dilakukan anak buah itu salah? Ataukah karena ia tidak tahu atau tidak mampu meyakinkan anak buah dengan cara yang lebih baik kecuali dengan amarah?

Dalam kajian mengenai kepemimpinan, amarah termasuk salah satu topik yang kerap dibicarakan karena mencerminkan kualitas kepemimpinan seseorang. Pemimpin hebat lazimnya tidak mengandalkan amarah untuk mengelola sumberdaya manusianya. Amarah akan menciptakan lingkungan kerja yang tidak nyaman bagi orang-orang yang bekerja bersamanya, khususnya anak buah sebab anak buah tidak akan berani membantah. Amarah juga akan membuat pemimpin kehilangan kemampuan untuk berbuat adil.

Karena itu, pemimpin dan manajer hebat tidak percaya bahwa amarah merupakan bentuk komunikasi yang efektif untuk meluruskan anak buah yang bekerja tidak sesuai dengan keinginan dan harapan mereka. Amarah tidak identik dengan ketegasan, sebab amarah mencerminkan ketidakmampuan pengendalian diri, sedangkan ketegasan memerlukan pengendalian diri.

Para pemimpin organisasi apapun lazimnya menyadari benar bahwa mengubah cara kerja hingga budaya organisasi tak bisa dilakukan dalam sekejap. Sekalipun sistem telah diperbaiki, sekalipun manusianya sudah dilatih agar disiplin dan cermat, tetap saja ada kemungkinan terjadi kesalahan karena faktor manusia—kelelahan karena beban kerja berlebihan, misalnya.

Katakanlah seorang pegawai salah memasukkan data, manajer atasannya mungkin akan marah karena hal itu. Bila sesekali manajer marah menyikapi keadaan seperti itu, pada umumnya orang dapat memakluminya. Berbeda halnya bila amarah itu muncul dengan pola yang berulang, di sembarang waktu, di berbagai tempat, di bermacam suasana. Ia tidak malu-malu mengekspresikan kemarahannya di muka umum seakan-akan wibawanya tegak karena amarah.

Di dalam luapan amarah di depan banyak orang itu, ada satu unsur yang serupa, yaitu amarah itu ditujukan kepada orang lain dengan jabatan yang lebih rendah—mungkin anak buahnya sendiri, mungkin bukan. Karena itu, orang yang dimarahi tidak akan membantah atau berargumen. Ada relasi kuasa antara atasan/manajer/pemimpin yang marah dan orang yang dimarahi. Alih-alih merupakan wujud ketegasan, luapan amarah semacam itu lebih menyerupai keputusasaan dalam mengelola sumber daya manusia yang menjadi tanggungjawabnya atau karena beban kerja yang berlebihan.

Banyak orang bisa bertanya: Apakah luapan amarah itu juga akan muncul manakala seorang manajer kesal dan tidak menyukai keputusan yang diambil atasannya karena ia menilai keputusan atasannya salah? Rasanya, itu tidak akan terjadi. Saat berada di depan direktur yang salah mengambil keputusan, manajer tidak akan marah. Manajer itu akan memendam amarahnya meskipun ia melihat atasan atau pimpinannya salah. Paling jauh, ia akan ngedumel atau bergosip di balik pintu dengan teman sesama manajer. Relasi kuasa ini yang membuat seorang pejabat publik merasa punya hak untuk memarahi anak buah, di depan orang banyak sekalipun.

Pertanyaannya: apakah memarahi seseorang di depan banyak orang akan efektif untuk mengubah sikap dan perilaku orang tersebut? Misalnya, ia menjadi lebih cermat? Seorang pemimpin yang matang tidak akan memarahi anak buahnya maupun orang lain di depan banyak orang, sebab sikap itu sama saja dengan mempermalukan orang yang dimarahi. Luapan amarah pemimpin seperti itu menciptakan stigma kebodohan pada orang yang dimarahi.

Di saat yang sama, pemimpin pemarah itu tidak menyadari bahwa ia telah mempertontonkan caranya memimpin, ketidakmampuannya berkomunikasi yang efektif, kegagalannya dalam mengelola emosi, serta keangkuhan kekuasaan. Siapapun tahu, seseorang yang dimarahi di muka umum atau banyak orang dan tidak memberi respons apapun kecuali diam atau mengiyakan, ini tidak lain karena ada kesenjangan status jabatan.

Seorang pemimpin semestinya mampu mengendalikan emosinya dan tidak mengumbar amarah kepada seseorang di muka umum karena ia memiliki jabatan lebih tinggi. Amarah di muka umum merupakan wujud keangkuhan kekuasaan seolah-olah ia tidak pernah berbuat salah. Seorang pemimpin tidak perlu melampiaskan amarah kepada orang-orang disekelilingnya, menyalahkan keadaan ataupun lingkungan. Amarah memang alamiah, namun jika pemimpin tidak mampu mengelolanya secara baik, amarah justru akan merusak dirinya sendiri. >>



[ad_2]

Sumber Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »