Petaka di Desa Wonopati – Part 5: Laknat – Fiksi

[ad_1]

Matahari mulai terbenam. Terlihat sebuah rumah berukuran sedang yang terletak di tengah perumahan penduduk. Di dalam sana terlihat Herman, Wahyu, dan Broto yang sedang duduk lesu sambil meratapi cangkir kopinya masing-masing dengan tatapan kosong. Mereka baru saja mengebumikan Usman yang diiringi oleh tangis ibunya. Selain itu, para warga juga telah melakukan evakuasi dan memakamkan secara layak semua jenazah dari keluarga Mbah Bhadrika.

Di dalam sana juga, terdapat seorang pria tua – si pemilik rumah – yang sedang duduk bersama mereka sambil menghisap rokok tingwe. Pria tua itu adalah pria di tepi jurang. Karena rasa kasihan, maka dia mengajak mereka bertiga untuk singgah ke rumahnya, demi menenangkan batin yang terguncang.

Selang beberapa waktu kemudian, pria tua itu memperkenalkan dirinya sebagai Kyai Haji Kresno Adhi Nugroho, tapi warga lebih sering memanggilnya Kyai Pethak; dalam bahasa Jawa Krama artinya Kyai Putih; karena penampilannya yang serba putih. Sontak mereka bertiga terkejut saat mendengar nama itu. Dia adalah seorang ulama, sekaligus pengembara. Meskipun mereka sangat jarang bertemu dengannya – karena dia sering berkelana ke desa tetangga untuk mengajarkan agama – tapi mereka sering mendengar namanya.

“Aku tahu apa yang terjadi padamu.” kata Kyai Pethak.

Sontak mereka semua tertegun setelah mendengar ucapannya.

Kyai Pethak menghirup rokok tingwe dalam-dalam dan menutupinya dengan seteguk kopi. Lalu dia berkata lagi, “Kamu dalam masalah besar. Masalah yang lahir dari tindakanmu sendiri.”

Setelah mendengar itu, mereka langsung menatap Kyai Pethak dengan perasaan resah.

“Kalian telah mengeksekusi orang yang berilmu tinggi.” tambah Kyai Pethak, “Tidak hanya itu. Kalian juga menodai dan mengeksekusi cucunya juga, bukan?”

Sontak mata mereka bertiga membelalak.

“Dan… bagaimana Kyai tahu?” tanya Herman.

Kyai Pethak kembali menghisap rokok tingwenya sampai habis. Lalu dia mulai memasang ekspresi yang serius.

“Orang yang kalian eksekusi itu adalah teman dekatku. Aki Cokro Ismoyono,” jawab Kyai Pethak.

Sontak mereka terkejut dan mulai saling menatap satu sama lain dengan sangat gelisah.

“Jangan khawatir. Aku tidak menuntut balas dendam atas kematian teman dekatku. Aku hanya ingin membantu kalian,” ujarnya.

Namun itu membuat mereka semakin merasa bersalah. Kemudian Kyai Pethak mulai menceritakan kepada mereka tentang pertemanannya dengan Aki Cokro, sekaligus membuka sebuah rahasia yang selama ini tertutup rapat.

****

Kyai Pethak sudah mengenal Aki Cokro sejak masa perang kemerdekaan. Mereka dulunya bekerja menyembunyikan para laskar pejuang dari kejaran tentara musuh. Selain itu, Kyai Pethak dan Aki Cokro juga sering mengobati para tentara atau warga yang terluka; baik itu luka fisik atau gaib. Semenjak itulah hubungan mereka jadi erat. Meskipun beda keyakinan, tapi itu tidak memberikan jarak pada tali pertemanan mereka. Dari situlah Kyai Pethak mulai mengetahui bahwa ilmu yang dimiliki Aki Cokro adalah sejenis ilmu supernatural kuno yang diwariskan secara turun menurun.

Aki Cokro adalah seorang Untul Angkarama; identitas bagi para pengikut Raja Hijau dari ras manusia. Dulunya Untul Angkarama merupakan aliran sesat atau kelompok rahasia yang dilindungi Kerajaan Majapahit, sehingga tidak pernah tercatat dalam buku sejarah atau prasasti kerajaan. Tugas utama Untul Angkarama adalah membantu tugas kerajaan dalam berbagai hal; memerangi, menyembuhkan penyakit, menyampaikan wahyu atau nasehat, melindungi anggota pemerintahan, dan sebagainya.

Awal mula Untul Angkarama dikenal adalah keterlibatannya dalam membantu Raden Wijaya untuk mengalahkan pasukan Yuan dari Kekaisaran Tiongkok-Mongol, dengan cara memanipulasi pikiran dan penglihatan, sehingga mereka tidak bisa membedakan pasukan musuh dan sesamanya. Walhasil, banyak pasukan Yuan yang saling membunuh satu sama lain. Tidak jarang juga Untul Angkarama membunuh pasukan Yuan dengan cara gaib dan mengerikan.

Selain itu, mereka juga mampu mengubah arah angin yang membuat pasukan Yuan yang sudah berlayar meninggalkan pulau Jawa jadi terjebak di laut Jawa selama enam bulan lamanya dan harus bertempur melawan armada Jawa. Bahkan selama pertempuran tersebut, terjadi arus pasang yang tinggi sehingga menenggelamkan banyak perahu pasukan Yuan dan menewaskan lebih dari 3000 pasukannya.

Karena perstiwa besar tersebut, Raden Wijaya menjadikan Untul Angkarama sebagai wadah rahasia yang sangat dilindungi oleh kerajaannya, sebagai bentuk balas budi. Bahkan Untul Angkarama juga ikut membantu Gajah Mada dalam proses memperluas wilayah Kerajaan Majapahit, dengan minim pertempuran dan pertumpahan darah.

Sebagai Untul Angkarama, mereka harus menjalankan sebuah ritual Bratastuti. Sangat banyak sekali jenis ritual Bratastuti, tapi yang paling wajib dilaksanakan – terutama bagi Untul Angkarama – adalah ritual Bratastuti-Mangharcana, yaitu sebuah ritual untuk menghormati Raja Hijau dengan memberikan sebuah pengorbanan manusia yang masih suci. Ada banyak cara dalam proses ritual tersebut, semuanya sangat mengerikan dan rumit, sehingga tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Akan tetapi, proses ritual Bratastuti-Mangharcana yang sering dilakukan oleh Untul Angkarama – termasuk Aki Cokro – adalah ritual yang mengorbankan seorang keturunannya yang berjenis kelamin perempuan.

Dalam ritualnya, seorang wanita harus masih perawan dan berusia 17 tahun, kemudian dimandikan dengan bunga bermuka tujuh yang telah dicampur minyak kemenyan, kemudian diarak ke tempat kurban yang disembunyikan saat bulan purnama. Setibanya di tempat pertunjukan, wanita itu dibaringkan di atas ukiran abstrak simbol khusus Untul Angkarama. Kemudian, kedua tangan dan kakinya diikat sesuai dengan arah mata angin dan masing-masing tali diikatkan pada seekor kuda.

Ketika waktu sudah menunjukkan tepat tengah malam, maka kuda-kuda itu dibuat berjalan demi menarik tubuh si perempuan hingga pecah dan mengeluarkan darah yang menggenangi ukiran simbol tersebut, sehingga menciptakan luminositas hijau yang elusif. Di momen itulah orang yang beruntung akan melihat sosok Raja Hijau dari dalam luminositas tersebut; lalu menyempenakan mereka dalam bentuk aurora atau sinar kosmik.

Tradisi ini dilaksanakan secara turun menurun. Namun seiring berjalannya waktu, terutama setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit dan kedatangan bangsa Eropa di tanah Nusantara, para penganut Untul Angkarama mulai pecah dan tersebar ke beberapa daerah yang tersembunyi di Nusantara maupun belahan dunia. Aki Cokro adalah salah satu dari Untul Angkarama yang tersisa di pulau Jawa, tapi dia memiliki motivasi yang berbeda dari yang lainnya.

Saat Aki Cokro memiliki dua orang anak, yaitu seorang pria dan perempuan, dia harus mengorbankan anak perempuannya dalam ritual Bratastuti-Mangharcana, sehingga membuat dirinya merasa terpukul dan kehilangan. Dari situlah dia berencana untuk meninggalkan ilmu warisan leluhurnya. Namun itu keputusan yang sangat berisiko.

Salah satu dampak dari seorang Untul Angkarama yang berhenti menyembah Raja Hijau adalah penderitaan di hari tuanya. Organ tubuhnya akan membusuk satu per satu dalam keadaan sadar dengan diiringi oleh rasa sakit yang luar biasa. Selain itu, proses untuk meninggal seutuhnya membutuhkan waktu lebih dari dua dekade, sehingga akan sangat menyiksa. Walakin, itu hanyalah hukuman yang paling ringan, dan tergantung pada cara serta motif dari Untul Angkarama meninggalkan Raja Hijau. Sebab masih banyak hukuman lainnya yang jauh lebih mengerikan, tidak manusiawi, dan aneh. Namun Aki Cokro tidak keberatan dengan hal itu, asalkan dia tidak perlu melihat keturunan perempuannya menjadi tumbal dari ritual Bratastuti-Mangharcana.

Ditambah lagi saat Aki Cokro dikaruniai seorang cucu perempuan dari anak laki-lakinya – bernama Santi – sehingga dia makin terdorong untuk bertobat dan menjadi mualaf. Namun ketika Santi masih balita, kedua orang tuanya meninggal akibat sebuah kecelakaan. Alhasil, sejak saat itulah Santi mulai tinggal bersamanya.

Dia menyekolahkan Santi secara Islam, agar bisa mendekatkan diri kepada Tuhan. Bahkan Santi juga salah satu murid ngaji Kyai Pethak. Namun di balik itu semua, Aki Cokro masih belum bisa meninggalkan ilmunya secara total, karena sering kali terjadi peristiwa yang memaksa untuk menggunakan ilmunya; seperti melindungi diri dari serangan perampok atau pasukan anti pemerintah, hingga mengobati para warga. Hal itu terjadi berlarut-larut, sampai akhirnya dia secara tak sengaja menjadi pesaing Mbah Bhadrika, seorang dukun yang dikenal keji dan culas.

Suatu hari sebelum Kyai Pethak pergi ke desa tetangga untuk mengajarkan agama, mereka – Aki Cokro dan Kyai Pethak – berdiskusi mengenai rencana Aki Cokro yang ingin menjadi seorang mualaf. Kyai Pethak memberikan saran kepadanya untuk mulai mencari tahu lebih dalam mengenai agama Islam itu sendiri. Lalu dia juga berjanji akan mengajarinya membaca Al-Quran setelah pulang dari desa tetangga.

Selain itu, dia juga menyegel kekuatan gaib milik Aki Cokro, demi memperkuat kegigihannya untuk meninggalkan dunia lamanya. Walaupun begitu, Aki Cokro masih dapat menggunakan sedikit kekuatannya, tapi hanya untuk mengobati bukan untuk bertarung. Namun nahas, setengah minggu kemudian tragedi menghampirinya bersama Santi, akibat fitnah dari Mbah Bhadrika yang berusaha menyingkirkannya. Lebih-lebih karena kekuatan gaib untuk bertarung masih tersegel, sehingga Aki Cokro tidak dapat melindungi diri dan cucunya.

Saat Kyai Pethak pulang dari desa tetangga dan mengetahui peristiwa tersebut; hatinya menjadi sangat hancur dan merasa sangat bersalah. Hingga pada satu malam, Kyai Pethak mimpi bertemu dengan Aki Cokro dalam keadaan bersimbah darah di sekujur tubuhnya dan memiliki tatapan murka yang mengerikan, sekaligus mengeluarkan cahaya kuning kehijauan dari kedua matanya.

Di dalam mimpi itu, Aki Cokro memberitahu bahwa akan terjadi sebuah malapetaka yang akan membumihanguskan Desa Wonopati. Dia juga menjelaskan sebuah konsekuensi bila seorang Untul Angkarama dibunuh, maka ilmunya akan menuntut balas dendam pada si pembunuh, tepat pada setahun setelah kematiannya. Apabila tidak tersalurkan dalam waktu tujuh hari, maka ilmu itu akan membinasakan seluruh desa dengan cara yang mengerikan. Sontak Kyai Pethak terbangun dari tidurnya dan berusaha mencari tahu identitas para eksekutor Aki Cokro. Akan tetapi, identitas mereka ditutup rapat oleh pihak militer dan tokoh masyarakat, sehingga pencariannya tidak pernah membuahkan hasil.

Sampai pada akhirnya Kyai Pethak baru berhasil mendapatkan petunjuk, saat beliau sedang mengajar agama di desa tetangga; akibat sebuah berita akan rentetan pembunuhan misterius sedang meneror Desa Wonopati. Mendengar itu Kyai Pethak langsung bergegas kembali ke desanya dan di tengah perjalanan pulang, dia tidak sengaja melihat mereka bertiga yang sedang menginterogasi Usman, dan mendengar semua ceritanya dari atas tebing. Saat itulah Kyai Pethak berhasil menemukan para eksekutor Aki Cokro.

****

Setelah mendengar cerita itu, rasa penyesalan, iba, dan takut mulai mendera batin mereka bertiga. Lebih-lebih setelah sadar bahwa hanya tersisa dua hari sebelum malapetaka yang akan membumihanguskan Desa Wonopati, semakin membuat batin mereka menjadi resah.

“Kyai… apakah ada jalan keluar?” tanya Herman dengan gugup.

Kyai Pethak hanya terdiam, seakan dia tidak yakin dengan jawaban yang akan diberikan. Walhasil, mereka makin cemas.

“Dasar Merah biadab! Habislah kita semua!” gerutu Broto sambil menahan tangis.

“Tolong kami Kyai!” ujar Wahyu memelas.

Kyai Pethak masih terdiam sambil menatap ke dalam cangkir kopinya. Matanya terlihat sedang berpikir keras hingga mengerutkan dahinya.

“Aku akan cari jalan keluarnya. Sebab sosok itu sangat kuat dan tua. Aku belum pernah menghadapinya. Dia dipenuhi oleh murka dan dendam, sehingga lepas kendali dan sulit ditaklukkan,” ujar Kyai Pethak, “Tapi tenang. Tuhan memberikan cobaan, selalu ada jalan keluarnya. Tidak ada makhluk yang lebih kuat daripada Tuhan itu sendiri!”

Tiba-tiba, mereka bertiga langsung sujud di depan Kyai Pethak sambil berterima kasih dan meminta maaf atas kesalahan mereka. Hal itu membuat Kyai Pethak semakin merasa kasihan.

“Aku sudah memaafkan kalian. Jadi sekarang kalian pulanglah.” ujar Kyai Pethak, “Jangan keluar di malam hari! Karena sosok itu akan membunuh kalian jika berada di luar rumah. Untuk sisanya, biar aku yang urus.”

Namun, tanpa sepengetahuan mereka semua, terlihat seorang perempuan – tetangga Kyai Pethak – yang sedang menguping pembicaraan mereka dari balik jendela, dengan ekspresi tergemap dan gelisah.

****



[ad_2]

Sumber Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »