Ngaji dan Kaji dalam Kajian Budaya Jawa – Analisis

[ad_1]

Oleh: M. Nur Kholis Al Amin

Entah mengapa, terlahir sebagai orang Jawa, bagiku begitu mengasikkan. Ya, walaupun tidak seutuhnya mengerti dan paham akan sejuta khazanah kekayaan budaya yang telah ada dan berkembang. Dan bisa dibilang, sebagian banyak khazanah budaya tersebut semakin menghilang karena terkikis arus perkembangan zaman serta antusiasme sebagian masyarakat yang progresif untuk berubah ke arah yang –kata orang– lebih modern dan gaul.

Bagaimana tidak, budaya mengatakan Halo dengan Barat, turun dari sepeda ketika dihadapkan dengan orang-orang yang sepuh saat di jalan sempit, budaya “piring terbang” saat acara jamuan (yang di dalamnya penuh dengan makna; sopan santun, pengertian, ngajeni), kini telah hampir punah.
Budaya-budaya yang lainnya pun, yang mengajarkan tepo seliro–ya, meski tidak disebutkan dalam kitab suci-belum, tidak terlepas dari nilai-nilai dasar Islam, bahkan Islam, buaangetzzz.
Kok bisa? Ya bisa lah, kan Islam itu nilai utamanya di tauhid (monoteisme), keadilan, persamaan dan Moral kan? Bahkan dalam suatu redaksi hadis (kalau gak salah; maklum, gue kan kuper soal hadis ) itu menyebutkan ﺇﻧﻤﺎ ﺑﻌﺜﺖ ﻷﺗﻤﻢ ﻣﻜﺎﺭﻡ ﺍﻷﺧﻼﻕ (Sesungguhnya aku (Muhammad) diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik).

Kembali ke khazanah budaya Jawa, karena kalau ngomongin tentang moral, PR kita banyak banget. Jadi, kapan-kapan saja yach, sekarang fokus ke tema Ngaji dan Kaji–yang salah satunya adalah pola dalam peristilihan bahasa-nya, seperti adanya istilah delamaan yang berarti jalan menuju kebaikan/jalan menuju kebaikan. Dimana, fungsi delamaan kan emang bagian utama juga untuk berjalan.

Memutari waktu sebagai Sang Kala yang tak kan pernah kembali, di mana saat waktu tersebut tidak segera dimanfaatkan untuk berdarma, maka takkan bisa terulang kembali. Maka seiring dengan sang kala yang terus berputar pada akhirnya manusia dituntut untuk mampu menjadi orang sepuh apa tidak. Sepuh dalam artian tidak hanya dalam perihal usia yang makin bertambah, akan tetapi sepuh dalam arti radiasi yang dihasilkan wongkang tua, sepi di Bowo.

Pada khazanah budaya Jawa, orang sepuh akan bersanding dengan tasbih-nya, menTAS secara keseluruhan. Hanya fokus pada perjalanan kediriannya untuk bertajalliat pada Sang Pencipta.
Ya akhirnya sebagai manusia yang hidup bermasyarakat atau bahasanya lucu sebagai makhluk putra politikon, ya, harus berdagang dalam arti luas. Atau bahasa ustadz adalah menjalin hubungan dengan sesama manusia, makhluk hidup lainnya, dan lingkungan (hablun min an-naas wa hablum min alam).

Begitu juga berhubungan dengan Sang Pencipta (hablun min Allah), perlu jalan hidayah untuk diistiqomahi dengan tanda, ketekunan yang menghasilkan tekan atau tidaknya. Seiring dengan usaha tersebut pada akhirnya sebagai manusia, kita dituntut untuk ngaji atau NGAsah JIwo, mengasah jiwa untuk mampu menghadapi berbagai kemungkinan yang telah tersurat dan tersirat dalam perintah Ilahi. Bagaimana cara melakukannya? Yaitu dengan pandai belajar KAhanan JIwo yang selalu kesadaran pada dia. Ya, keadaan atau keadaan jiwa untuk selalu menyebut Asma-Nya dengan puji-pujian kepada-Nya. Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar, Laa ilaaha illa Allah, Shollallahu ‘Ala Muhammad.

Mungkin, makna kaji melalui perspektif bahasa Jawa, yakni, untuk melatih sebut (dzikir) dengan mengabadikan puji-pujian kepada Sang Pencipta dalam segala keadaan yang menimpa, baik suka maupun duka. Jadi, bisa berputar sambat/mendesah (gek-gek, piye, yungalah, dll). Karena, pada dasarnya penderitaan terlahir dari keinginan jiwa kita yang selalu beranak pinak, yang kemudian melahirkan penderitaan yang tak berujung ketika lebih banyak sambatnya dari pada sebutnya.

Oleh karena itu, belajar ngaji untuk membiasakan sebut atau puja puji dan kaji merupakan salah satu jalan agar menjadi manusia yang kajen dan diajeni oleh jiwa kita sendiri.
Amin…
#Dia yang mengenal dirinya sendiri mengenal Tuhannya



[ad_2]

Sumber Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »