[ad_1]
Oleh : Tatang Hidayat & Abdurrahman Al-Khaddami (Pegiat Student Rihlah Indonesia)
Buku Ta’līm al-Muta’allim Tarīq al-Ta’allum merupakan salah satu kitab yang menjelaskan tentang cara belajar yang sangat terkenal di pesantren. Kitab tersebut merupakan salah satu kitab inti yang dipelajari mayoritas pesantren tradisional di Indonesia bahkan sebagian pesantren modern pun menggunakan kitab tersebut.
Telah kita pahami pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara. Ia telah lahir dan bertahan berabad-abad. Meskipun perubahan zaman menuntut pesantren untuk melakukan perubahan-perubahan. Di sisi lain, peran pesantren di Indonesia sebagai lembaga keagamaan yang menjadi basis perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan, lembaga pendidikan, lembaga penelitian, lembaga keilmuan, lembaga pelatihan dan lembaga pengembangan masyarakat sekaligus simpul budaya.
Secara historis kitab Ta’līm al-Muta’allim Tarīq al-Ta’allum merupakan rujukan penting di lembaga pendidikan Kesultanan Utsmaniyyah, yakni Harm Asyraf al-Mulūk wa as-Salāthn. Dari namanya dapat dipahami bahwa lembaga tersebut bersifat privat bagi keluarga para Sultan Utsmani, semacam lembaga khusus untuk pembinaan para anak Sultan sehingga terwujud generasi penerus yang layak memimpin masyarakat. Oleh karena itu, kitab tersebut disusun syarah-nya oleh Syaikh Ibrahim ibn Isma’il rahimahullāh dan dipersembahkan kepada Khalifah al-Ghazi Murad III Khan ibn Salim II ibn Sulaiman al-Qanuni ibn Salim ibn Bayazid II Muhammad II al-Fatih ibn Murad II ibn Muhammad ibn Bayazid ibn Murad ibn Urkhan ibn Utsman ibn Urthughril ibn Sulaiman rahimahumullāh.
Sebagaimana diriwayatkan bahwa pada masa Khalifah Salim II terjadi pengiriman bantuan militer Kekhalifahan Utsmaniyyah kepada Kesultanan Aceh Darussalam dan penetapan bahwa wilayah yang dipimpin Aceh adalah bagian dari Utsmaniyyah. Artinya, Syarah terhadap kitab Ta’līm al-Muta’allim arīq al-Ta’allum disusun setelah masa tersebut sekitar tahun 1574 – 1595 M, pada masa Panembahan Senopati (Kesultanan Islam Mataram), Maulana Yusuf dan Maulana Muhammad (Kesultanan Banten), Panembahan Ratu (Kesultanan Cirebon) dan Prabu Geusan Ulun (Kerajaan Islam Sumedang Larang).
Berdasarkan beberapa data-data yang telah disebutkan, matan Ta’līm al-Muta’allim arīq al-Ta’allum dan syarah-nya sampai ke Nusantara sejak masa Syaikh Cholil al-Bangkalani dan murid-muridnya telah diajarkan di Nusantara, terutama di Jawa melalui jaringan Ulama Jawi – Mekkah sekitar abad 19 – 20 M. Diketahui bahwa kitab Ta’līm al-Muta’allim arīq al-Ta’allum adalah referensi dari Sultan Ottoman kemudian khotbahnya disampaikan kepada Khalifah Murad III al-Utsmani. Madzhab jelas berbeda dengan ulama Mekkah atau Jawi, karena Utsmani dan penulis kitab Ta’līm al-Muta’allim arīq al-Ta’allum adalah Hanafiyyah sedangkan Mekah pada umumnya termasuk ulama Jawi adalah Syafi’iyyah. Persembahan penulis syarah kepada Khalifah Murad III hingga kini tercetak dalam naskah yang digunakan di berbagai pesantren di Nusantara.
Pembelaan Khilafah Utsmaniyah dilakukan oleh al-Mufti Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan al-Hasani selaku Syekh Masyaikh Ulama Jawi yang hidup semasa bersama Khalifah Abdul Hamid II yang terekam dalam karya-karyanya: al-Futuhat al-Islamiyyah dan Khulaṣah al-Kalam. Pembelaan lainnya seperti yang dilakukan oleh al-Qadhi Syekh Yusuf bin Isma’il an-Nabhani. Kedua ulama tersebut dijadikan acuan oleh para ulama nusantara.
Apa yang dipelajari dalam tulisan suci Ta’līm al-Muta’allim arīq al-Ta’allum dan syarahnya yang berdasarkan pendapat ulama Hanafiyyah tidak berbeda dengan penjelasan dalam kitab Tadzkirah as-Sāmi’ wa al-Mutakallim karya Imam Ibnu Jama’ah yang didasarkan pada pendapat ulama Syafi’i.
Secara umum mengacu pada tradisi pengajaran Ulama di era Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in. Bahkan, beberapa jelas dikaitkan dengan zaman Nabi . allah Allah ‘Alaihi Wa Sallam. Adab terhadap ilmu dan guru diajarkan di matan Ta’lîm al-Muta’allim arīq al-Ta’allum dan syarahnya adalah bagian dari syariat, bukan sekedar tradisi masyarakat yang bisa diubah, karena bersandar pada hadits Nabi allah Allah ‘Alaihi Wa Sallam, pendapat para sahabat dan tabi’in, serta para ulama setelahnya. Artinya, bisa menjadi acuan pembuktian atau ijtihad para ulama.
Kajian Pendidikan Islam di Matan Ta’lîm al-Muta’allim arīq al-Ta’allum dan syarah-nya bisa dibandingkan dengan karya ulama lain dengan madzhab berbeda selain di-Tadzkirah-nya Imam Ibnu Jama’ah, semisal al-Faqîh wa al-Mutafaqqih-nya Imam al-Khathib al-Baghdadi, Jami’ Bayan al-‘Ilm wa Fadhlih-nya Imam Ibn Abdill Barr, Ihyâ` ‘Ulûm ad-Dîn-nya Imam al-Ghazali, at-Tibyân fi Adab Hamlah al-Qur`ân, al-Majmû’-nya Imam an-Nawawi dan Adab al-‘Alim Wal-Muta’allim KH. Hasyim Asy’ary.
Terlebih lagi, penulisnya adalah matan Ta’līm al-Muta’allim arīq al-Ta’allum dan syarahnya adalah Ulama Hanafiyyah yang madzhabnya dikenal sebagai Ahli Ra`yu. Bila kajiannya sesuai dengan pendapat Ahli Atsar menunjukkan adab yang terkenal dalam kitab Ta’līm al-Muta’allim arīq al-Ta’allum dan syarah-nya adalah bagian dari ajaran Islam yang tidak bisa digantikan oleh teori apapun dari Pendidikan Barat. Yang juga termasuk dalam bahasan ini ialah adanya keterkaitan antara maksiat dengan keberkahan ilmu, yang ditolak oleh Pendidikan Barat yang dianggap ”modern”. Bagi para pelajar muslim, keterikatan pada hukum Syariah adalah perkara penentu dalam hasilnya ilmu bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat secara umum. Keberkahan ilmu yang didapatkan melalui penerapan adab terhadap ilmu dan Ulama merupakan ciri khas santri dan alumni dari Pesantren Salafiyyah di Nusantara secara umum, terutama di Pulau Jawa.
Kesimpulan
Mereka membunuh Ta’lîm al-Muta’allim dan syarahnya telah diajarkan oleh para ulama thabaqah (tingkat generasi) setelah KH. Tubagus Ahmad Bakri As-Sampuri dan KH. Hasyim Asy’ari rahimahullāh. Setidaknya kitab tersebut sudah dikenal luas di era keduanya ataupun di masa para gurunya seperti Syaikh Cholil al-Bangkalani. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa matan Ta’lîm al-Muta’allim Tarq al-Ta’allum dan syarah-nya sampai ke Nusantara melalui hubungan Mekkah sebagai bagian Wilayah (setingkat Kegubernuran/Provinsi) dari Daulah ‘Aliyyah Utsmaniyyah yang merupakan Kekhalifahan-nya kaum muslimin saat itu dengan para Ulama Jawi yang belajar di sana.
Mereka membunuh Ta’lîm al-Muta’allim dan syarah-nya jelas terlihat dalam Kurikulum Pesantren Salafiyyah (Tradisional) terutama di Pulau Jawa. Dapat ditetapkan bahwa “ruh” dari pondok pesantren adalah konsep Pendidikan Islam yang dijelaskan dalam matan Ta’līm al-Muta’allim dan syarahnya, khususnya yang berkaitan dengan budi pekerti terhadap ilmu dan guru. Ada yang menuding pengaruh itu sebagai “penghalang kemajuan” yang tidak sejalan dengan perkembangan pendidikan modern.
Kritis terhadap kajian Pendidikan Islam di masa lalu dibenarkan jika bersandar pada dalil dalam bahasan materi ajar dan metode belajar yang bersandar pendekatan ilmiah dalam bahasan teknik serta sarananya. Sedangkan kritik bersandarkan pada konsep Pendidikan Barat jelas keliru karena sudah berbeda sejak asasnya, yakni Sekulerisme. Apa yang dianggap tradisi masa lalu oleh Pendidikan Barat sebagiannya adalah bagian dari hukum Syariah, termasuk konsep utama seputar adab terhadap ilmu dan guru.
Naskah selengkapnya silakan didownload dan disebarluaskan dalam Islamic Transformatif : Journal of Islamic Studies Vol. 4 No. 2 tahun 2020 https://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/index.php/islamt/article/view/3429
[ad_2]
Sumber Berita