[ad_1]
Feodalisme masih tetap mekar di zaman media sosial ini. Seorang mantan bupati dapat menyetujui atau menolak seseorang untuk menempati jabatan tertentu. Biarpun sudah mantan, ia masih punya kuasa besar untuk mengatur hal-hal penting di wilayahnya. Tak lain dan tak bukan karena bupati yang secara resmi berkuasa adalah istrinya. Sang mantan rupanya bertindak sebagai dalang yang menggerakkan istrinya, melangkah ke kanan atau ke kiri.
Bupati dan mantan bupati tampaknya tahu benar bahwa banyak orang menginginkan jabatan, dan mereka melihat peluang bisnis di balik hasrat akan jabatan itu. Bisnis jabatan dianggap lumrah—istilah lelang jabatan sebenarnya juga menyesatkan, sebab lelang lazimnya memenangkan pihak yang membayar paling tinggi; padahal yang diinginkan ialah orang yang memenuhi syarat tertentu, di antaranya karakter dan kompetensi.
Mengutip pungutan dari orang-orang yang berambisi jadi pegawai negeri, menjadi lurah, ataupun yang ingin naik pangkat, tampaknya masih jadi karat yang menempel di birokrasi. Kasus pasangan suami-istri yang pejabat ini boleh jadi hanyalah fenomena puncak gunung es, dan boleh jadi mereka sedang apes alias ketahuan. Berapa banyak kasus serupa yang tidak tercium, tidak terpantau, atau dibiarkan saja karena sama-sama tahu?
Situasi ini menjadikan pelayanan publik tidak mudah melangkah maju, sebab para pelayannya bukanlah orang-orang yang betul-betul berniat mengabdi kepada kepentingan masyarakat. Mereka menjadikan pelayanan publik sebagai profesi yang menjanjikan sebagai gengsi atau prestise, karena itu mereka memburu kenaikan pangkat untuk gagah-gagahan.
Jabatan juga dilihat sebagai peluang untuk memperoleh akses kepada sumberdaya ekonomi: anggaran, lahan, pelaku bisnis. Kewenangan untuk membuat keputusan adalah kunci untuk mencapai sumberdaya tadi. Di dalamnya ada wewenang untuk menunjuk siapa menjabat apa, peraturannya bagaimana—lihat kasus bupati yang memperoleh honor dari setiap warga yang dimakamkan karena Covid, hingga pengaturan soal proyek.
Bupati dan walikota cenderung bertindak sebagai raja/ratu kecil di zaman kerajaan dulu. Mereka mengumpulkan upeti dari penguasa-penguasa daerah yang lebih kecil, seperti camat, kepala desa, dan lurah. Penguasa-penguasa kecil itu tak sanggup menolak bila ingin bertahan di jabatannya. Kutipan dan setoran telah menjadi duri bagi bertumbuhnya pemerintahan dan layanan masyarakat berkualitas baik.
Pelaku ekonomi menengah yang bergerak di kota/kabupaten mungkin juga tidak nyaman dengan perilaku raja-raja kecil ini. Pebisnis menengah ini juga berpotensi jadi sasaran kutipan. Bila enggan menyetor, pebisnis ini mesti bersiap diri untuk menjumpai kesukaran dalam memperoleh perizinan hingga mengakses proyek-proyek bisnis di wilayahnya.
Sebagai kultur, feodalisme masih hidup dan dihidupkan: lihatlah bagaimana para pejabat publik disambut, dijamu, dan diagungkan. Bahkan, hingga dalam pemakaian kosakata pun, feodalisme itu masih lekat. Para bawahan jika berbicara satu sama lain akan menyebut bupati atau walikota dengan kata Bapak atau Ibu, tanpa menyebut jabatan ataupun nama. Tidak ada orang lain yang disebut Bapak atau Ibu kecuali pejabat tertinggi. “Bapak pesan dindingnya dicat oranye,” maka semua orang tahu siapa yang disebut Bapak itu dan semua orang tidak akan berani menggantinya dengan cat kuning sekalipun di toko stok cat oranye sedang kosong.
Tidak hanya pada jabatan-jabatan yang pemegangnya telah dipilih oleh rakyat, tetapi juga dalam organisasi-organisasi yang sering dikategorikan modern, seperti partai politik, feodalisme masih melekat. Kita tidak bisa menutup mata bahwa di beberapa parpol masih ada ikatan darah dan semua keputusan dipusatkan pada orang nomor satu. Tidak ada yang berani memutuskan kecuali setelah menanyakan apa yang diinginkannya.
Para bupati/walikota itu ingin keturunannya menjadi bupati/walikota pula. Orang ramai menyebutnya politik dinasti dan dinasti politik, tak ubahnya di zaman dulu kala ketika di Nusantara ini bertebaran kerajaan-kerajaan kecil. >>
[ad_2]
Sumber Berita